Rabu, 18 Maret 2009

ProfiL diRi

AssaLamuaLaikum...........

Bicara tentang aku???

Namaku Ai Halimatussadiyah, Lebih Lengkapnya Ai Halimatussadiyah Al-Musayyidah tapi berhubung akta keLahiranku sempat hilang, so aku buat akta baru and namaku hanya tercantum Ai Halimatussadiyah. Tempat kelahiranku sebenarnya di daerah garut pada tanggal 25 mei 1990 tapi sekarang berubah jadi bertempat di daerah Karawang tanggal 25 mei 1989, huh.... nyebelin sih tapi apa boleh buat!!
Aku anak pertama dari empat bersaudara, jadi aku punya tanggung jawab besar untuk membantu kedua orang tua ku. awal masuk sekolah usiaku berumur enam tahun karena saat itu aku sangat bersemangat untuk sekolah sehingga aku langsung masuk di Sekolah Dasar Negeri tambakbaya III tanpa masuk TK terlebih dahulu. Alhamdulillah meskipun dikelas aku termasuk anak bawang tapi aku berhasil mendapat peringkat kedua di kelas sehingga kepala sekolah meminta orang tuaku untuk tetap melanjutkan sekolahku ketingkat selanjutnya. Ketika aku naik kelas empat, aku pindah sekolah ke Sekolah Dasar Negeri Kalangsari IV karena aku harus ikut kedua orangtuaku. Sewaktu kelas V, aku pernah menjuarai juara ke-II lomba baca puisi se-kabupaten karawang dan sewaktu kelas VI aku pernah menjuarai lomba tari jaipong. setelah lulus dari Sekola Dasar selanjutnya aku masuk di Sekolah Menengah Negeri I Rengasdengklok setelah 3 tahun aku menimba ilmu selanjutnya aku masuk di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Karawang, disanalah aku bertemu teman-teman yang sangat menyenangkan. setelah 3 tahun aku menuntut ilmu di SMAN 3 Karawang alhamdulillah aku dapat lulus dengan nilai yang baik sehingga aku dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi yaitu ke Universitas Negeri Jakarta. Disinilah aku dapat mengetahui seluk beluk tentang dunia pendidikan dengan segala permasalahan yang ada. Visiku "menjadi seorang ahli dalam dunia pendidikan" dan Misiku "dapat mengikuti dan mengetahui setiap perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan". semoga aku dapat menjadi penerus kedua orangtuaku dan semoga aku dapat mencapai cita-citaku. Amiiiiin...........................

MANAJEMEN PESERTA DIDIK dalam MENGHADAPI KREATIFITAS ANAK

01 Maret 2009

Penulis : Khumaidi Tohar


Suatu sistem pendidikan dapat dikatakan bermutu, jika proses belajar-mengajar berlangsung secara menarik dan menantang sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan yang bermutu akan membuahkan hasil pendidikan yang bermutu dan relevan dengan pembangunan. Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu dan efisien perlu disusun dan dilaksanakan program-program pendidikan yang mampu membelajarkan peserta didik secara berkelanjutan, karena dengan kualitas pendidikan yang optimal, diharapkan akan dicapai keunggulan sumber daya manusia yang dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan keahlian sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang.

Untuk mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas diperlukan manajemen pendidikan yang dapat memobilisasi segala sumber daya pendidikan. Manajemen pendidikan itu terkait dengan manajemen peserta didik yang isinya merupakan pengelolaan dan juga pelaksanaannya. Fakta-fakta dilapangan ditemukan sistem pengelolaan anak didik masih menggunakan cara-cara konvensional dan lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberi perhatian kepada pengembangan bakat kreatif peserta didik. Padahal Kreativitas disamping bermanfaat untuk pengembangan diri anak didik juga merupakan kebutuhan akan perwujudan diri sebagai salah satu kebutuhan paling tinggi bagi manusia. Kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan, menilai dan meguji dugaan atau hipotesis, kemudian mengubahnya dan mengujinya lagi sampai pada akhirnya menyampaikan hasilnya. Dengan adanya kreativitas yang diimplementasiakan dalam sistem pembelajaran, peserta didik nantinya diharapkan dapat menemukan ide-ide yang berbeda dalam memecahkan masalah yang dihadapi sehingga ide-ide kaya yang progresif dan divergen pada nantinya dapat bersaing dalam kompetisi global yang selalu berubah.

Perkembangan anak didik yang baik adalah perubahan kualitas yang seimbang baik fisik maupun mental. Tidak ada satu aspek perkembangan dalam diri anak didik yang dinilai lebih penting dari yang lainnya. Oleh karena itu, teori kecerdasan majemuk yang dikembangkan oleh psikolog asal Amerika Serikat, Gardner dinilai dapat memenuhi kecenderungan perkembangan anak didik yang bervariasi.

Penyelenggaraan pendidikan saat ini harus diupayakan untuk memberikan pelayanan khusus kepada peserta didik yang mempunyai kreativitas dan juga keberbakatan yang berbeda agar tujuan pendidikan dapat diarahkan menjadi lebih baik.

Muhibbin Syah menjelaskan bahwa akar kata dari pendidikan adalah "didik" atau "mendidik" yang secara harfiah diartikan memelihara dan memberi latihan. Sedangkan "pendidikan", merupakan tahapan-tahapan kegiatan mengubah sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang melalui upaya pelatihan dan pengajaran. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan tidak dapat lepas dari pengajaran. Kegiatan dari pengajaran ini melibatkan peserta didik sebagai penerima bahan ajar dengan maksud akhir dari semua hal ini sesuai yang diamanatkan dalam undang-undang no. 20 tentang sisdiknas tahun 2003; agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam pendidikan, peserta didik merupakan titik fokus yang strategis karena kepadanyalah bahan ajar melalui sebuah proses pengajaran diberikan. Sebagai seorang manusia menjadi sebuah aksioma bahwa peserta didik mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing, mereka unik dengan seluruh potensi dan kapasitas yang ada pada diri mereka dan keunikan ini tidak dapat diseragamkan dengan satu aturan yang sama antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lain, para pendidik dan lembaga sekolah harus menghargai perbedaan yang ada pada diri mereka. Keunikan yang terjadi pada peserta didik memang menimbulkan satu permasalahan tersendiri yang harus diketahui dan dipecahkan sehingga pengelolaan murid (peserta didik) dalam satu kerangka kerja yang terpadu mutlak diperhatikan, terutama pertimbangan pada pengembangan kreativitas, hal ini harus menjadi titik perhatian karena sistem pendidikan memang masih diakui lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberikan perhatian kepada pengembangan kreatif peserta didik. Hal ini terjadi dari konsep kreativitas yang masih kurang dipahami secara holistic, juga filsafat pendidikan yang sejak zaman penjajahan bermazhabkan azas tunggal seragam dan berorientasi pada kepentingan-kepentingan, sehingga pada akhirnya berdampak pada cara mengasuh, mendidik dan mengelola pembelajaran peserta didik.

Kebutuhan akan kreativitas tampak dan dirasakan pada semua kegiatan manusia. Perkembangan akhir dari kreativitas akan terkait dengan empat aspek, yaitu: aspek pribadi, pendorong, proses dan produk. Kreativitas akan muncul dari interaksi yang unik dengan lingkungannya.Kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan (masalah) ini, menilai dan mengujinya. Proses kreativitas dalam perwujudannya memerlukan dorongan (motivasi intristik) maupun dorongan eksternal. Motivasi intrinstik ini adalah intelegensi, memang secara historis kretivitas dan keberbakatan diartikan sebagai mempunyai intelegensi yang tinggi, dan tes intellejensi tradisional merupakan ciri utama untuk mengidentifikasikan anak berbakat intelektual tetapi pada akhirnya hal inipun menjadi masalah karena apabila kreativitas dan keberbakatan dilihat dari perspektif intelejensi berbagai talenta khusus yang ada pada peserta didik kurang diperhatikan yang akhirnya melestarikan dan mengembang biakkan Pendidikan tradisional konvensional yang berorientasi dan sangat menghargai kecerdasan linguistik dan logika matematik. Padahal, Teori psikologi pendidikan terbaru yang menghasilkan revolusi paradigma pemikiran tentang konsep kecerdasan diajukan oleh Prof. Gardner yang mengidentifikasikan bahwa dalam diri setiap anak apabila dirinya terlahir dengan otak yang normal dalam arti tidak ada kerusakan pada susunan syarafnya, maka setidaknya terdapat delapan macam kecerdasan yang dimiliki oleh mereka.

Salah satu cara dalam memecahkan masalah ini adalah pengelolaan pelayanan khusus bagi anak-anak yang punya bakat dan kreativitas yang tinggi, hal ini memang telah diamanatkan pemerintah dalam undang-undang No.20 tentang sistem pendidikan nasional 2003, perundangan itu berbunyi " warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus".

Pengertian dari pendidikan khusus disini merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan-pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pada akhirnya memang diperlukan adanya suatu usaha rasional dalam mengatur persoalan-persoalan yang timbul dari peserta didik karena itu adanya suatu manajemen peserta didik merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan.

Siswa berbakat di dalam kelas mungkin sudah menguasai materi pokok bahasan sebelum diberikan. Mereka memiliki kemampuan untuk belajar keterampilan dan konsep pembelajaran yang lebih maju. Untuk menunjang kemajuan peserta didik diperlukan modifikasi kurikulum. Kurikulum secara umum mencakup semua pengalaman yang diperoleh peserta didik di sekolah, di rumah, dan di dalam masyarakat dan yang membantunya mewujudkan potensi-potensi dirinya. Jika kurikulum umum bertujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan pendidikan pada umumnya, maka saat ini haruslah diupayakan penyelenggaraan kurikulum yang berdiferensi untuk memberikan pelayanan terhadap perbedaan dalam minat dan kemampuan peserta didik. Dalam melakukan kurikulum yang berbeda terhadap peserta didik yang mempunyai potensi keberbakatan yang tinggi, guru dapat merencanakan dan menyiapkan materi yang lebih kompleks, menyiapkan bahan ajar yang berbeda, atau mencari penempatan alternatif bagi siswa. Sehingga setiap peserta didik dapat belajar menurut kecepatannya sendiri.

Dalam paradigma berpikir masyarakat Indonesia tentang kreativitas, cukup banyak orangtua dan guru yang mempunyai pandangan bahwa kreativitas itu memerlukan iklim keterbukaan dan kebebasan, sehingga menimbulkan konflik dalam pembelajaran atau pengelolaan pendidikan, karena bertentangan dengan disiplin. Cara pandang ini sangatlah tidak tepat. Kreativitas justru menuntut disiplin agar dapat diwujudkan menjadi produk yang nyata dan bermakna. Displin disini terdiri dari disiplin dalam suatu bidang ilmu tertentu karena bagaimanapun kreativitas seseorang selalu terkait dengan bidang atau domain tertentu, dan kreativitas juga menuntut sikap disiplin internal untuk tidak hanya mempunyai gagasan tetapi juga dapat sampai pada tahap mengembangkan dan memperinci suatu gagasan atau tanggungjawab sampai tuntas.

Masa depan membutuhkan generasi yang memiliki kemampuan menghadapi tantangan dan perubahan yang terjadi dalam era yang semakin mengglobal. Tetapi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia saat ini belum mempersiapkan para peserta didik dengan kemampuan berpikir dan sikap kreatif yang sangat menentukan keberhasilan mereka dalam memecahkan masalah.

Kebutuhan akan kreativitas dalam penyelenggaraan pendidikan dewasa ini dirasakan merupakan kebutuhan setiap peserta didik. Dalam masa pembangunan dan era yang semakin mengglobal dan penuh persaingan ini setiap individu dituntut untuk mempersiapkan mentalnya agar mampu menghadapi tantangan-tantangan masa depan. Oleh karena itu, pengembangan potensi kreatif yang pada dasarnya ada pada setiap manusia terlebih pada mereka yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa perlu dimulai sejak usia dini, Baik itu untuk perwujudan diri secara pribadi maupun untuk kelangsungan kemajuan bangsa.

Dalam pengembangan bakat dan kreativitas haruslah bertolak dari karakteristik keberbakatan dan juga kreativitas yang perlu dioptimalkan pada peserta didik yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Motivasi internal ditumbuhkan dengan memperhatikan bakat dan kreativitas individu serta menciptakan iklim yang menjamin kebebasan psikologis untuk ungkapan kreatif peserta didik di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat.

Merupakan suatu tantangan bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia untuk dapat membina serta mengembangkan secara optimal bakat, minat, dan kemampuan setiap peserta didik sehingga dapat mewujudkan potensi diri sepenuhnya agar nantinya dapat memberikan sumbangan yang bermakna bagi pembangunan masyarakat dan negara. Teknik kreatif ataupun taksonomi belajar pada saat ini haruslah berfokus pada pengembangan bakat dan kreativitas yang diterapkan secara terpadu dan berkesinambungan pada semua mata pelajaran sesuai dengan konsep kurikulum berdiferensi untuk siswa berbakat. Dengan demikian diharapkan nantinya akan dihasilkan produk-produk dari kreativitas itu sendiri dalam bidang sains, teknologi, olahraga, seni dan budaya.
Sumber: www.edu-articles.com

Selasa, 10 Maret 2009

Tawuran Akibat Minim Teladan


Oleh wirnadianhar
Minggu, 21 September 2008 10:21:46

Terjadinya tawuran antar remaja atau mahasiswa di bulan Ramadhan ini, merupakan cermin semakin minimnya sosok panutan yang bisa menjadi teladan masyarakat khususnya generasi muda di tanah air.

“Informasi sekarang sudah tidak terbatas, siapa saja bisa menyimak melalui layar televisi, koran serta media lainnya berbagai peristiwa dan berita yang menyangkut kehidupan sosial, agama dan politik, termasuk di antaranya berita negatif tentang korupsi, kemiskinan dan sebagainya,” kata anggota Komisi X DPR RI dari F-PKS, Aan Rohana seperti dikutip kapanlagi.com.

Masyarakat setiap hari disuguhi berita-berita yang membuat masyarakat gamang karena para petinggi yang harusnya bisa menjadi teladan malah berbuat sebaliknya. Demikian juga peran orang tua dan keluarga dalam pendidikan moral dan agama sudah luntur karena kesibukan orang tua mencari nafkah sehingga perhatian terhadap anak semakin berkurang.

Sementara pendidikan di sekolah saat ini tidak memberikan layanan memadai bagi peserta didik untuk mendapatkan pemahaman tentang moral, budi pekerti, akhlak dan nilai-nilai agama. “Kejadian tawuran belakangan ini khususnya selama Ramadhan kebanyakan dilakukan anak-anak dan remaja pada usia wajib belajar yakni SD dan SMP yang merupakan masa di mana anak sedang mencari identitas diri,” katanya menambahkan. Meski pembinaan akhlak dan penanaman nilai agama utamanya menjadi peran keluarga dan orang tua, namun penanamannya akan semakin kokoh apabila didukung oleh pembelajaran di sekolah.

Sekolah bisa menyusun kurikulum sesuai dengan kebutuhannya masing-masing karena saat ini pemerintah sudah memberikan keleluasaan melalui kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), artinya sekolah memiliki kebebasan untuk memfokuskan program unggulan sekolah itu pada bidang mana, katanya. “Sekolah bisa menyusun kurikulum yang disesuaikan dengan agenda satu tahun, misalnya pada saat bulan puasa, jumlah jam belajar mengajar dikurangi namun diperbanyak kegiatan ekstrakulikuler memperdalam agama dengan cara-cara yang menyenangkan dan tidak harus selalu di dalam ruang kelas,” katanya.

Selain itu, sekolah harus mampu membentuk suasana kondusif terhadap siswa seperti kebiasaan memberikan salam pagi kepada kepala sekolah dan guru, memberikan ruang yang cukup bagi peserta didik untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, atau secara rutin melaksanakan kegiatan sosial untuk masyarakat di sekitarnya.

Ia mengatakan, beberapa sekolah negeri sudah menerapkan kegiatan yang bisa menanamkan nilai akhlak dan sosial kepada peserta didik, seperti kegiatan tadaruz bagi siswa muslim dan sementara non muslim melaksanakan ibadah sesuai dengan ajarannya dan sebagainya. “Kalau suasana kondusif seperti itu bisa diterapkan di semua sekolah, saya yakin dengan penanaman nilai agama dan sosial secara terus menerus mampu meredam emosi yang meletup-letup anak-anak di usia remaja mereka,” katanya.

Kurikulum

Sementara itu, Direktur Pembinaan TK dan SD Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Depdiknas, Mudjito Ak mengatakan, kasus tawuran di kalangan remaja tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada pihak sekolah atau kurikulum pendidikan di Indonesia.

“Kurikulum pendidikan kita sudah semakin baik, bahkan sekarang ini ada KTSP yang memberikan keleluasaan bagi sekolah untuk menentukan silabus dan model yang akan diunggulkan dari sekolah itu,” katanya. Mudjito menyatakan keberatan bila tawuran remaja disebabkan kurikulum yang terlalu padat. “Justru kita sudah sesuaikan dengan mengembangkan program KTSP sebab sekolah yang lebih memahami kebutuhan siswa”.

Ia mengatakan, saat ini di kelas satu dan dua sekolah dasar (SD) sudah diperkenalkan dengan program tematik sehingga lebih terarah dan siswa tidak menghadapi beban terlalu berat pada usianya. “Anak-anak itu merupakan fungsi dari keluarganya dan ketika aktivitas dilakukan di luar jam sekolah, maka keluarga dan masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap anak itu,” tambahnya. (kpl)

Sumber : Pos Metro Padang edisi Sabtu / 20 September 2008

Senin, 09 Maret 2009

Urgensi Pembiayaan Pendidikan

Senin, 2009 Januari 12

Oleh: Naura Ambarini*

Pendidikan menjadi aset yang sangat penting, karena pendidikan menjadi agen perubahan dan transformasi tata nilai yang terorganisasi dengan baik. Pada masa Rasululah SAW dan Khulafaur Rasyidin, pendidikan dimulai dengan didirikannya kelompok-kelompok belajar yang kemudian dilanjutkan pelaksanaannya di masjid-masjid.Kelangsungan kegiatan suatu lembaga pendidikan dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya berkaitan dengan masalah pendanaan. Pembiayaan adalah sebuah elemen yang tidak bisa dan tidak mungkin dipisahkan dari proses pendidikan. Sebaik apapun konsep pendidikan bila tidak ada pembiayaan yang mencukupi, maka menjadi suatu yang kurang efektif.

Hal itu juga disampaikan oleh Supriyadi yang mengatakan bahwa biaya pendidikan merupakan salah satu komponen masukan instrumental (instrumental input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah maupun di madrasah. Dalam segala upaya pencapaian tujuan pendidikan, biaya dan pembiayaan pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan. Jadi tidak ada upaya pendidikan yang dapat mengabaikan peran pembiayaan, karena tanpa biaya proses pendidikan tidak akan berjalan dengan maksimal.
Jika melihat pada peradaban Islam, mulai dari masa pemerintahan Rasulullah SAW sampai abad pertengahan, pendanaan lembaga pendidikan ternyata telah mendapatkan perhatian yang besar dari para penyelenggara pendidikan maupun pihak-pihak yang tidak terlibat langsung didalamnya.

Umat Islam pada masa itu sudah memahami benar perlunya biaya besar untuk membangun dan mengelola sekolah yang bermutu. Abuddin Nata memaparkan bahwa Nizham Al-Mulk mengeluarkan anggaran belanja yang luar biasa besarnya untuk membiayai pendidikan. Ia mengeluarkan anggaran untuk pendidikan sebesar 600.000 dinar atau lebih dari 100 trilyun rupiah setiap tahun untuk seluruh madrasah dibawah pemerintah.

Pembiayaan Pendidikan

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0212/12/opini/44678.htm
Kompas. Kamis, 12 Desember 2002


Oleh Darmaningtyas

GUGATAN masyarakat terhadap pemerintah menyangkut tanggung jawabnya yang
rendah dalam pembiayaan pendidikan warga telah lama dilontarkan. Namun,
sampai sekarang belum ada perbaikan yang signifikan.

Kehendak yang baik baru muncul dalam konstitusi yang merupakan hasil
amandemen UUD 1945. Dalam Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen itu
disebutkan, Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.

Sayang, kehendak baik itu baru muncul sekarang saat kondisi keuangan negara
sedang carut-marut sehingga kita tidak bisa memaksa pemerintah mewujudkan
secepatnya, terlepas dari pemerintah masih korup, beban pemerintah
menanggung warisan utang rezim Orde Baru (Golkar) amat besar. Pada tahun
2002, misalnya, beban utang yang harus dibayar Rp 132,4 trilyun dengan
rincian utang luar negeri Rp 43,9 trilyun, utang dalam negeri Rp 88,4
trilyun (Kompas, 27/4/2002). Dengan kata lain, munculnya kehendak baik itu
tidak dibarengi kemampuan pemerintah untuk membiayainya.

Meski demikian, kita tidak boleh berhenti berteriak agar pemerintah tidak
terlena. Sebab, selain ada faktor obyektif (beban utang), juga ada faktor
subyektif yang membuat kita jengkel dan harus kritis terhadap pemerintah.
Faktor subyektif itu adalah tidak adanya kepekaan legislatif maupun
eksekutif atas penderitaan masyarakat dan ketidakadilan antarsesama warga
yang diciptakan penguasa. Terutama antara konglomerat pe ngemplang utang
dengan warga yang tidak punya akses perbankan sama sekali.


Tidak peka

Sikap pemerintah (legislatif dan eksekutif) yang kurang peka terhadap
penderitaan masyarakat atau tidak memiliki sense of crisis, terlihat jelas
dari perilaku mereka yang sama sekali tidak mencerminkan rasa empati
terhadap beban berat yang ditanggung warga. Gaya hidup sebagian besar aparat
pemerintah masih terlihat bermewah-mewah, berlumuran uang, dan hanya memburu
rente untuk diri sendiri maupun kelompoknya. Meskipun sebagian besar
masyarakat mengalami kesulitan untuk memperoleh sesuap nasi untuk hari ini,
tetapi jumlah mobil mewah di kota-kota besar terus bertambah dan di antara
pemilik mobil mewah itu adalah pejabat negara. Laporan KPKPN menunjukkan,
kekayaan para penyelenggara negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif)
meningkat tajam meski belum ada lima tahun berkuasa.

Rendahnya kemauan pemerintah untuk membiayai pendidikan juga terlihat
melalui kebijakan yang tidak adil, yaitu terlalu berpihak pada kepentingan
segelintir orang atau konglomerat. Di satu pihak pemerintah mengeluh tidak
memiliki anggaran cukup untuk pendidikan, tetapi di pihak lain pemerintah
bersedia nomboki bank-bank bangkrut mencapai ratusan trilyun rupiah. Dana
yang dialokasikan untuk melakukan restrukturisasi perbankan sejak awal
krisis (1997) sampai sekarang konon mencapai sekitar Rp 600 trilyun.

Tahun 2002 ini, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) menyetujui
penambahan biaya merger lima bank dari rencana Rp 3,9 trilyun menjadi Rp 4,6
trilyun (Kompas, 30/8/2002) atau 41,8 persen dari anggaran pendidikan yang
hanya Rp 11 trilyun. Ironis, untuk pendidikan pemerintah sulit memberi
tambahan, tetapi untuk nomboki bank-bank yang bangkrut mudah sekali.

Orang awam pun amat heran, mengapa pemerintah mati-matian nomboki bank-bank
bangkrut dan mengorbankan pendidikan puluhan juta anak? Salah satu
argumentasi yang sering dikemukakan adalah bila perbankan tidak
direstrukturisasi, masyarakat tidak akan percaya pada dunia perbankan.

Padahal, biarkan saja masyarakat tidak percaya pada perbankan kalau
perbankan kita nyatanya buruk kinerjanya. Buat apa masyarakat dipaksa
percaya dunia perbankan kalau mentalitas pengelolanya buruk? Lebih baik
sedikit bank tetapi sehat daripada 148 bank tetapi hanya membebani
masyarakat.

Pada masa krisis seperti sekarang, daripada pemerintah menghamburkan dana
untuk nomboki bank yang kenyataannya tidak menolong perekonomian negara,
lebih baik dana itu diinvestasikan untuk membiayai pendidikan dan kesehatan
warga. Memang investasi pendidikan tidak akan memberi hasil cepat, tetapi
paling tidak bangsa ini memiliki harapan bahwa 10-20 tahun ke depan generasi
yang akan tampil adalah generasi yang terdidik secara baik. Daripada dana
untuk nomboki bank-bank bangkrut, tetapi tidak memberi harapan apa-apa bagi
kita. Jika kita percaya adagium, bandit tetap bandit, maka meski mereka
sekarang ditomboki, ke depannya tetap akan mereka kemplang, masyarakat terus
dirugikan.

Jadi, secara obyektif memang ada persoalan kemampuan pemerintah yang
terbatas untuk membiayai pendidikan sebagai akibat warisan utang. Tetapi
secara subyektif juga ada ketidak-mauan pemerintah untuk sungguh-sungguh
memperhatikan pendidikan melalui alokasi anggaran pendidikan yang tinggi
atau kebijakan yang memungkinkan pendidikan menjalani reformasi secara
benar.


Masyarakat egois

Kemauan yang rendah untuk membiayai pendidikan juga ditunjukkan masyarakat,
terutama saat penerimaan murid baru. Ada dua fenomena mencolok. Pertama,
banyak orang kaya turut berebut masuk sekolah negeri dengan pertimbangan
biayanya lebih ringan dibanding bersekolah di swasta.

Kedua, bagi orang kaya yang mendaftar ke sekolah-sekolah swasta, mereka
selalu memperlihatkan perilaku yang sama. Saat negosiasi biaya pendidikan,
mereka ke sekolah dengan sesederhana mungkin, mengesankan sebagai orang
miskin. Dalam mengisi formulir, terutama menyangkut pekerjaan dan pendapatan
banyak yang dipalsu dengan harapan dapat keringanan biaya masuk dan uang
SPP. Namun, setelah diterima, mereka memperlihatkan sikap aslinya: pamer
kekayaan dengan berganti-ganti mobil, perhiasan, pakaian bermerek, dan
merayakan ulang tahun anaknya di hotel berbintang. Perilaku masyarakat yang
demikian, mencerminkan perilaku asosial, tidak memiliki kepekaan sosial bagi
sesama yang kurang beruntung, egois, hanya memikirkan diri sendiri.

Orang kaya yang memiliki kepekaan dan solidaritas sosial tinggi akan memberi
kesempatan mereka yang tidak mampu untuk antre lebih dulu masuk
sekolah-sekolah negeri yang biayanya ringan karena ditanggung pemerintah.
Dan mereka akan masuk ke sekolah-sekolah swasta yang biayanya ditanggung
sendiri. Dan mereka yang sejak awal memilih sekolah-sekolah swasta bermutu
pun tidak akan berpura-pura menjadi orang miskin untuk mendapat keringanan
biaya masuk maupun SPP. Sebaliknya mereka bersedia membayar biaya sekolah
sesuai kemampuannya. Sebab dengan membayar sesuai kemampuannya itu
sesungguhnya turut menolong bagi yang tidak mampu.

Apa yang dapat dilakukan bila menghadapi kemauan pemerintah dan masyarakat
yang rendah untuk membiayai pendidikan? Tidak lain terus bersuara agar baik
pemerintah maupun masyarakat yang kaya memiliki kemauan tinggi untuk
membiayai pendidikan dasar. Sembari mengingatkan kepada para penyelenggara
pendidikan, agar bila kelak pemerintah mengalokasikan dana yang tinggi untuk
pendidikan, tidak dikorup. Sebab meskipun anggaran pendidikan tinggi, tetapi
kalau korupsinya juga tinggi, tidak akan memberi makna apa-apa bagi
perbaikan mutu pendidikan di negeri ini.

Darmaningtyas Praktisi pendidikan, anggota Dewan Penasihat CBE (The Centre
for the Betterment of Education) di Jakarta

Pembiayaan Pendidikan Fokus Kebijakan 100 Hari

Rabu, 24 November 2004
Humaniora

Jakarta, Kompas - Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo akan lebih fokus kepada sistem pembiayaan pendidikan dalam kebijakannya. Ia percaya bahwa sistem pembiayaan dengan mekanisme subsidi silang akan berwatak sosial karena masyarakat yang mampu secara finansial akan menyubsidi mereka yang kesulitan secara ekonomi. Sekolah unggulan negeri secara bertahap juga didorong untuk mandiri dan tidak bergantung pada pemerintah.

Untuk pengaturan sementara, akan ada keputusan presiden sebagai bagian dari rencana kerja 100 hari. Jika hasilnya baik, dalam jangka panjang dapat ditingkatkan menjadi peraturan pemerintah, bahkan perundang-undangan.

"Saya memerhatikan secara serius soal sistem pembiayaan pendidikan dan juga peningkatan mutu. Sebagai dasar, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sudah diamanatkan anggaran pendidikan 20 persen. Tetapi, itu baru kerangka besar dan perlu dijabarkan alokasinya menurut jalur, jenis pendidikan, dan hal lain yang lebih rinci," ujar Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo seusai halalbihalal dengan pegawai Departemen Pendidikan Nasional, Selasa (23/11).

Selain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), terdapat pula sumber dana dari masyarakat. Baik yang dipungut lembaga pendidikan dari peserta didik maupun hasil jerih payah lembaga tersebut. Penggunaan dana pendidikan dari negara atau masyarakat itu perlu ada aturan memungut, menyimpan, menggunakan, serta mempertanggungjawabkannya.

Pembiayaan pendidikan, menurut dia, harus berwatak sosial, seperti sistem subsidi silang untuk dana yang bersumber dari masyarakat.

Peserta didik dari daerah tertinggal atau miskin diupayakan tetap memiliki akses ke sekolah yang baik atau unggulan dengan sistem subsidi silang. Dengan demikian, sekolah bagus tidak hanya dihuni oleh mereka yang mampu secara ekonomi atau dari kota. Pemerintah akan mendorong setiap kabupaten memiliki sekolah unggulan yang kompetitif.

"Akan dibuka pengaturan subsidi silang, misalnya melalui beasiswa, agar yang tidak mampu tetapi pintar dari berbagai daerah dapat ikut bersaing," ujarnya.

Sekolah unggulan

Ke depan, sekolah unggulan baik negeri atau swasta juga didorong untuk mandiri dalam pembiayaan. Fasilitas pemerintah akan dibatasi. APBN serta APBD dikonsentrasikan untuk pembiayaan sekolah yang berstandar kualitas nasional dan dapat diakses siapa saja.

"Yang namanya pembiayaan pendidikan didasarkan pada tingkat mutu tertentu. Besaran anggaran pendidikan diasumsikan pada tingkat mutu tertentu pula secara nasional. Kemudian dihitung berapa anggaran yang bersumber dari APBN, APBD, dan masyarakat," ujar Bambang.

Jika ada komponen masyarakat yang menginginkan kualitas pendidikan lebih dari standar nasional, konsekuensinya biaya ditanggung sendiri.

Mereka yang mampu menyelenggarakan pendidikan lebih dari yang ditawarkan pemerintah tidak akan dihalangi pula.

Bahkan, pemerintah daerah yang berkeinginan mendirikan bibit sekolah unggulan dipersilakan. Akan tetapi, setelah lembaga itu menjadi sekolah unggulan, kucuran APBN dan APBD akan dibatasi karena dianggap telah mampu membiayai dirinya secara mandiri.

"Semakin banyak sekolah seperti itu semakin baik karena pendidikan akan dibiayai dan digerakkan oleh tenaga dan masyarakat sendiri," katanya.

Dalam jangka panjang, pemerintah mendorong agar sekolah kompetitif tersebut semakin banyak dan mandiri.

Sekolah-sekolah unggulan atau kompetitif tersebut terbuka peluang mengembangkan diri dari dana yang ditarik dari masyarakat. Dengan demikian, standarnya bisa saja di atas standar kompetensi nasional atau minimal sejajar.

Mereka yang tidak mampu dapat mengakses sekolah tersebut juga melalui subsidi silang dengan beasiswa tadi.

Sinkronkan RPP

Di tempat yang sama, Sekretaris Jenderal Depdiknas Baedhowi mengatakan, sistem pembiayaan pendidikan yang tengah digagas oleh Mendiknas tidak akan tumpang tindih dengan konsep yang tertuang pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan yang sudah telanjur disiapkan drafnya oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depdiknas.

"Kami akan senantiasa menyinkronkan kedua konsep tersebut agar tidak terjadi tumpang tindih," katanya.

Namun, Baedhowi mengakui, sinkronisasi atau penyelarasan tersebut butuh proses waktu yang belum tentu bisa dituntaskan dalam masa 100 hari kerja kabinet yang baru ini.

Sesuai Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, RPP yang merupakan turunannya pun menggariskan bahwa sumber pembiayaan pendidikan berasal dari pemerintah dan masyarakat. "Saya kira pengelolaan anggaran pendidikan yang bersumber dari pemerintah dan masyarakat tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip pembiayaan berwatak sosial atau subsidi silang," katanya.

Kebijakan darurat

Secara terpisah, pengamat pendidikan Winarno Surakhmad mengungkapkan, rencana kebijakan tersebut cenderung darurat dan taktis. "Karena kebetulan saja ada orang kaya yang diharapkan membayari orang miskin," katanya.

Sistem pembiayaan pendidikan seharusnya berangkat dari pandangan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara, kaya maupun miskin.

Seharusnya yang dipikirkan pemerintah bukan soal mengatur subsidi silang, melainkan bagaimana pemerintah menjalankan kewajibannya memenuhi hak warga atas pendidikan. Kebijakan itu mengesankan pemerintah tidak mampu memenuhi hak warganya.

Selain itu, dalam jangka panjang dapat muncul hambatan psikologis. Akan muncul kesenjangan sosial karena anggapan bahwa tanpa subsidi mereka yang tidak mampu tidak dapat menempuh pendidikan.

Pemerintah seharusnya memberikan perasaan nyaman dan aman kepada warganya, termasuk dengan memberikan jaminan akses pendidikan.

Terlebih lagi jika di dalam masyarakat telah ada kesadaran dan gerakan moral untuk membantu pendidikan mereka yang berkekurangan.

Winarno juga tidak sepenuhnya setuju dengan sekolah unggulan karena terkadang hanya merupakan cap yang ditempelkan dengan melihat kelebihan fasilitas atau input unggul.

"Justru sebuah sekolah dinilai unggul karena memiliki guru yang baik dan mampu menciptakan anak-anak unggul dengan fasilitas terbatas," katanya. (INE/NAR)

Hakekat sumber, media dan evaluasi pembelajaran IPS

Ditulis pada oleh Pakde sofa

PENDAHULUAN

IPS adalah Kehidupan Sosial di Masyarakat, oleh karena itu masyarakat lah yang menjadi sumber pembelajaran utama IPS. Apapun aspek kekhidupan sosial yang akan kita pelajari dapat mengambil sumber dari masyarakat

MATERI IPS DAN SUMBER PEMBELAJARAN

1.Kekhidupan nyata masyarakat. Cerita-cerita Rakyat, Novel ,K isah tokoh terkenal , oleh karena itu sumber pembelajaran IPS bisa buku, majalah, surat kabar.

2.Berita (lokal, regional. Nasional, global) oleh karena itu sumber pembelajaran IPS berupa surat khabar, radio, TV, internet

3.Sejarah – sumb. PBM IPS prasasti, candi, dokumen, fosil, Museum.

4. Kehidupan sosial dengan segala aspeknya. – kita tak dapat kt pelajari langsung dari sumbernya, mk perlu perantara/media pemb IPS

(hal/benda yang tak dapat diamati/dipelajari scr langsung dapat disajikan dalam gambar, potret, peta buku, majalah, atau benda lain yang sejenis, alat/perantra ini disebut Media cetak.

Sedangkan media radio dan TV termasuk media elektronik.

Media komunikasi merupakan Sumber pembelajaran

MEDIA ELEKTRONIK

Media Audio

Media visual

Media audio visual

Klise, OHP, film.

Internet

EVALUASI PEMBELAJARAN IPS

1.Evaluasi merupakan penilaian program, paroses dan hasil peandidikan.

2.Evaluasi dapat diartikan sebagai suatu pengukuran.

3.Evaluasi dapat bersifat kualitatif dan juga bersifat kuantitatif.

4.Evaluasi kualitatif hasilnya beruapa peringkatsangat baik, baik, sedang, kurang, sangat kurang

5.Evaluasi kuantitatif berupa angka-angka hasil pengukuran

FUNGSI Evaluasi:

1. Fungsi evaluasi pembelajaran bagi guru adalah mengungkapkan kelemahan proses kegiatan mengajar meliputi bobot materi yang disajikan, metode yang diterapkan, media yang digunakan, dan strategi yang dilaksanakan.-

2. Fungsi evaluasi bagi siswa yaitu

-mengungkapkan penguasaan materi pembelajaran

- Mengungkapkan kemajuan individual maupun kelompok dalam mempelajari IPS

ASAS EVALUASI

Asas komprehensif : evaluasi harus meliputi keseluruhan pribadi siswa yang dievaluasi.(kognitif, afektif, psikomotor)

Asas Kontinuitas: evaluasi wajib dilaksanakan scr berkesinambungan mulai dari pra- saat proses- dan pasca pembelajaran.

Asas Obyektif : Evaluasi seharusnya menilai dan mengukur apa adanya / non subyektif-

Hendaknya guru IPS setiap merancang test sebaiknya sesuai dengan asas-asas di atas

Evaluasi dapat berupa tes dan Non test.

Bentuk test obyektif, test esay, test lisan.

Sedangkan nontest meliputi tugas dan penampilan

Tugas Evaluator Pendidikan

Selasa, 2007 November 06


SYARAT-SYARAT EVALUATOR

Untuk memperoleh hasil evaluasi yang sebaik-baiknya, bagi para evaluator program dituntut adanya syarat-syarat tertentu:

1. Memahami Materi, yaitu memahami hakikat seluk beluk program yang dievaluasi, antara lain:

a. tujuan program yang sudah ditentukan sebelum mulai kegaiatan

b. komponen-komponen program

c. variabel yang diuji-cobakan atau dilaksanakan

d. jangka waktu dan penjadwalan kegiatan

e. mekanisme pelaksanaan program

f. pelaksanaan program

g. sistem monitoring kegiatan program

2. Menguasai Teknik, yaitu menguasai cara-cara atau teknik-teknik yang digunakan yang digunakan di dalam melaksanakan evaluasi program. Oleh karena evaluasi program tidak lain adalah penelitian evaluasi, maka evaluator program harus menguasai metodologi penelitian, meliputi:

a. cara membuat perencanaan penelitian

b. teknik menetukan populasi dan sampel

c. teknik menyusun instrument penelitaian

d. prosedur dan teknik pengumpulan data

e. penguasaan teknik pengolahan data

f. cara menyusun laporan penelitian

Untuk metodologi yang terakhir ini evaluator program harus menguasai sesuatu yang lebih dibandingkan dengan penelitan karena apa yang disampaikan akan sangat menentukan kebijaksanaan yang kadang-kadang risikonya sangat besar.

3. Objektif Dan Cermat, tim evaluator adalah sekelompok orang yang mengemban tugas yang dalam tugasnya ditopang oleh data yang dikumpulkan secara cermat dan objektif. Berdasarkan atas data tersebut maka diharapkan, mengklasifikasikan, mentabulasikan, mengolah dan sebagainya secara cermat dan objektif pula. Khususnya di dalam menentukan pengambilan strategi penyusunan laporan, evaluator tidak boleh memandang satu atau dua aspek sebagai hal yang yang istimewa, dan tidak boleh pula memihak. Baik pelaku evaluasi dari dalam ekstern (terutama yang dibayar!) tidak dibeanrkan “mengambil muka” dari orang/lembaga yang meminta bantuan atau menugaskannya untuk mengevaluasi.

4. Jujur Dan Dapat Dipercaya, tim evaluasi merupakan tim kepada siapa pengambil keputusan menumpahkan seluruh kepercayaannya padanya. Mengapa pengambil keputusan minta tolong untuk mengevaluasi program yang dipandang penting untuk dievaluasi? Alasannya ada dua hal:

(a) Mereka menghindar adanya bias (kesalahan pengamatan atau kesalan persepsi) dan

(b) Dalam mempertanggungjawabkan tindakannya kepada masyarakat luas, tidak akan ada rasa “risih” karena adanya kemungkinan tidak jujur.

Atas dasar alasan penyerahan tugas mengevaluasi tersebut kepada evaluator, maka menjadi suatu beban mental yang berat pada tim evaluator untuk tidak menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Sebagai timbal baliknya mereka harus dapat menunjukkan tingkat keterpercayaan yang tinggi kepada pemberi tugas.

Namun ada pendapat lain tentang syarat-syarat seorang evaluator, yaitu di antaranya:

1. Mampu melaksanakan, persyaratan pertama yang harus dipenuhi oleh evaluator adalah bahwa mereka harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan evaluasi yang didukung oleh teori dan keterampilan praktik.

2. Cermat, dapat melihat celah-celah dan detail dari program serta bagian program yang akan dievaluasi.

3. Objektif, tidak mudah dipengaruhi oleh keinginan pribadi, agar dapat mengumpulkan data sesuai dengan keadaannya, selanjutnya dapat mengambil kesimpulan sebagaimana diatur oleh ketentuan yang harus diikuti.

4. Sabar dan tekun, agar di dalam melaksanakan tugas dimulai dari membuat rancangan kegiatan dalam bentuk menyusun proposal, menyusun instrumen, mengumpulkan data dan menyusun laporan, tidak gegabah dan tergesa-gesa.

5. Hati-hati dan bertanggung jawab, yaitu melakukan pekerjaan evaluasi dengan penuh pertimbangan, namun apabila masih ada kekeliruan yang diperbuat, berani menanggung resiko atas segala kesalahannya.

Menentukan asal evaluator harus mempertimbangkan keterkaitan orang yang bersangkutan dengan program yang akan dievaluasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut evaluator dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu Evaluator Eksternal dan Evaluator Internal.

  • Evaluator Internal (Evaluasi Dalam), yang dimaksud dengan Evaluator Dalam adalah petugas evaluasi program yang sekaligus merupakan salah seorang dari petugas atau anggota pelaksana program yang evaluasi. Adapun kelebihan dan kekurangan dari evaluator dalam yaitu:

Kelebihan :

1. Evaluator memahami betul program yang akan dievaluasi sehingga kekhawatiran untuk tidak atau kurang tepatnya sasaran tidaka perlu ada. Dengan kata lain, evaluasi tepat pada sasran.

2. Karena evaluator adalah orang dalam, pengambil keputusan tidak perlu banyak mengeluarkan dana untuk membayar petugas evaluasi.

Kekurangan :

1. Adanya unsur subyektivitas darievaluator, sehingga berusaha menyampaikan aspek positif dari program yang dievaluai dan menginginkan agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik pula. Dengan kata lain, evaluator internal dapat dikhwatirkan akan bertindak subjektif.

2. Karena sudah memahami seluk-beluk program, jika evaluator yang ditunjuk kurang sabar, kegiatan evaluasi akan dilaksanakan dengan tergesa-gesa sehingga kurang cermat.

  • Evaluator Eksternal ( Evaluator Luar ), yang di maksud dengan evaluator luar adalah orang-orang yang tidak terkait dengan kebijakan dan implementasi program. Mereka berada diluar dan diminta oleh pengambil keputusan untuk mengevaluasi keberhasilan program atau keterlaksanaan kebijakan yang sudah diputuskan. Melihat bahwa status mereka berada di luar program dan dapat bertindak bebas sesuai dengan keinginan mereka sendiri maka tim evaluator luar ini biasa dikenal dengan nama tim bebas atau independent team.

Kelebihan :

1. Oleh karena tidak berkepentingan atas keberhasilan program maka evaluator luar dapat bertindak secara objektif selama melaksanakan evaluasi dan mengambil kesimpulan. Apapun hasil evaluasi, tidak akan ada respons emosional dan evaluator karena tidak ada keinginan untuk melibatkan bahwa program tersebut berhasil. kesimpulan yang dibuat akan lebih sesuai dengan keadaan dan kenyataan.

2. Seorang ahli yang dibayar, biasanya akan mempertahankan kredibilitas kemampuannya. Dengan begitu, evaluator akan bekerja secara serius dan hati-hati.

Kekurangan :

1. Evaluator luar adalah orang baru, yang sebelumnya tidak mengenal kebijakan tentang program yang akan dievaluasi. Mereka berusaha mengenal dan mempelajari seluk beluk program tersebut setelah mendapat permintaan untuk mengevaluasi. Mungkin sekali pada waktu mendapat penjelasan atau mempelajari isi kebijakan, ada hal-hal yang kurang jelas. hal itu wajar karena evaluator tidak ikut dalam proses kegiatannya. dampak dari ketidakjelasan pemahaman tersebut memungkinkan kesimpulan yang diambil kurang tepat.

2. Pemborosan, pengambil keputusan harus mengeluarkan dana yang cukup banyak untuk membayar evaluator bebas.

Adapun perbedaan yang menonjol antara evaluator luar dan evaluator dalam adalah adanya satu langkah penting sebelum mereka mulai melaksanakan tugas. oleh karena evaluator luar adalah pihak asing yang tidak tahu-menahu dan tidak berkepentingan dengan program, yang diasumsikan belum memahami seluk-beluk program maka terlebih dahulu tim tersebut perlu mempelajari program yang akan dievaluasi.

Hal-hal yang harus dipelajari oleh seorang evaluator meliputi tujuan program, komponen program, siapa pelaksananya dan pihak-pihak mana yang terlibat, kegiatan apa saja yang sudah terlaksana dan gambaran singkat tentang sejauh mana tujuan program sudah dicapai.

MENGAPA PERLU MEMBENTUK JARINGAN KURIKULUM

Oleh Sutjipto

(Kepala Bidang Kurikulum Pendidikan Non-Formal)

Kamis, 25 Desember 2008

erubahan paradigma penyelenggaraan pendidikan dari sentralisasi ke desentralisasi dan otonomi pendidikan mendorong terjadinya perubahan dan pembaruan pada beberapa aspek pendidikan, termasuk aspek kurikulum. Dalam kaitan ini, kurikulum sekolah pun menjadi perhatian dan pemikiran-pemikiran baru, sehingga mengalami perubahan-perubahan kebijakan. Dan, salah satu perubahan dalam bidang pendidikan yang sangat strategis ialah berkaitan dengan pengembangan kurikulum. Dalam hal ini, daerah memiliki kewenangan dalam mengembangkan atau menyusun kurikulum yang efektif sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerahnya dengan berlandaskan pada Standar Nasional Pendidikan. Hal ini dapat memberi harapan yang lebih nyata untuk meningkatkan mutu pendidikan demi terwujudnya sumber daya manusia berkualitas yang memiliki daya saing tinggi di tengah-tengah persaingan global yang semakin tajam. Kewenangan daerah dalam menyusun ataupun mengembangkan kurikulum tersebut memerlukan kesiapan sumber daya manusia yang profesional dalam implementasinya.

Untuk melaksanakan hal itu, peran daerah mempunyai posisi yang cukup penting. Daerah bukan saja dapat berperan dalam pengembangan kurikulum, yang selama ini tidak pernah dilakukan, tetapi juga dapat membantu satuan pendidikan agar berpartisipasi sebaik-baiknya dalam kegiatan pengembangan. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum oleh daerah menuntut kesiapan pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota dalam mengembangkan kurikulum secara profesional di wilayah masing-masing. Kesiapan bagi pengembang kurikulum merupakan salah satu penentu peningkatan kualitas atau mutu pendidikan di daerah terkait. Hal ini erat kaitannya dengan pertimbangan filosofis dan psikologis yang sering muncul dalam pengembangan kurikulum, di antaranya ialah: apakah hakikat dan makna kurikulum, apa saja yang seharusnya dimasukkan ke dalam kurikulum, apa saja perbedaan antara masalah-masalah dalam kurikulum dengan kenyataan hidup, kriteria apa yang dibutuhkan dalam pengorganisasian perencanaan kurikulum, dan bagaimana pengalaman belajar dapat dipilih dan dipilah yang mungkin berguna dalam pencapaian pengalaman tersebut.

Selain harus memperhatikan pertimbangan filosofis dan psikologis, para pengembang kurikulum di daerah juga haruslah memperhatikan pendekatan yang akan digunakan dalam pengembangan kurikulum. Paling tidak ada empat macam pendekatan yang perlu diperhatikan, yaitu: pendekatan akademis, pendekatan individu, pendekatan teknis, dan pendekatan sosial. Pendekatan akademis menitik beratkan pada tujuan mata pelajaran sesuai dengan konsep dasar dan batasan disiplin ilmu dari mata pelajaran tersebut. Pendekatan teknis sangat memperhatikan bagaimana substansi mata pelajaran itu dirinci dan diatur secara sistematis. Pendekatan individu memperhatikan bagaimana peserta didik dapat diarahkan pada pengembangan kemampuan berpikir dan keterampilan, dan pengembangan nilai-nilai pribadi. Sedangkan pendekatan sosial menghendaki agar pengembangan kurikulum dapat menghasilkan peserta didik memiliki berbagai kemampuan yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Dari sisi lain, pengembang kurikulum di daerah selalu dituntut mempunyai keterampilan konseptual, yaitu kecakapan untuk memformulasikan pikiran, memahami teori-teori, melakukan aplikasi, menganalisis kecenderungan berdasarkan kemampuan teoritis dan yang dibutuhkan masyarakat masa depan, dan keterampilan bekerja sama dengan lembaga lain. Sebab pengertian kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum sebagai rencana tidak hanya terdiri atas mata pelajaran (course of study), atau uraian isi mata pelajaran (course content) atau persiapan mengajar (teaching preparation) dalam bentuk silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran, tetapi mencakup semua dokumen tertulis yang berkaitan dengan landasan dan azas-azas pengembangan kurikulum, struktur dan sebaran mata pelajaran, serta pedoman-pedoman pelaksanaannya. Sedangkan kurikulum sebagai pengaturan, hal ini menyangkut implementasi dan pengendaliannya.

Pusat Kurikulum sebagai salah satu pusat yang berada di bawah Badan Litbang Depdiknas merupakan institusi yang bertanggungjawab dalam pengembangan kurikulum sejak tahun 1987-an telah menjajaki berbagai kemungkinan untuk membentuk suatu mekanisme nasional dalam pengembangan kurikulum melalui suatu jaringan kurikulum. Dengan adanya jaringan kurikulum diharapkan (kala itu) arus informasi berkait dengan permasalahan kurikulum dapat terakomodasi. Di samping terjalinnya kerja sama antara pusat dan daerah, serta antardaerah dalam pengembangan kurikulum. Program pengembangan jaringan kurikulum hingga saat ini masih terus dilakukan oleh Pusat Kurikulum. Lebih-lebih dalam menyikapi perubahan pengembangan kurikulum antara pusat dan daerah yang akhir-akhir ini digulirkan pemerintah lengkap dengan payung peraturan perundang-undangannya, maka dipandang perlu adanya wadah bagi para pengembang yang secara sistemik diwujudkan dalam bentuk kelembagaan jaringan kurikulum yang secara periodik dilakukan pembinaan secara teratur.

Jaringan kurikulum merupakan suatu sistem kerja sama antara pusat dengan daerah, antardaerah, dan antar unsur di daerah dalam mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, dan perkembangan daerah. Tim jaringan kurikulum merupakan suatu organisasi nonstruktural terdiri atas unsur dinas pendidikan, perguruan tinggi, LPMP, dan masyarakat yang berfungsi membantu Dinas Pendidikan Provinsi dan atau Kabupaten/Kota dalam pengembangan kurikulum.

Dalam International Bureau of Education, UNESCO: 2005 dinyatakan bahwa: Curriculum Development Network is a means of enhancing local and national capacity for curriculum development, the promotion of dialogue among curriculum policy-makers, specialists and researchers, the sharing of experiences, and the testing and development of comparative case study-based training resources in the management of curriculum chang. Dari pernyataan ini ditegaskan bahwa yang dimaksud jaringan pengembangan kurikulum adalah suatu alat atau wahana peningkatan kemampuan daerah dan nasional untuk pengembangan kurikulum. Di samping pula sebagai wadah membangun kesadaran dan membahas isu dan inovasi mutakhir dalam bidang kurikulum, pembelajaran, dan pengembangan profesional bagi orang-orang daerah.

Pembentukan jaringan kurikulum di setiap daerah merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih untuk mengatasi keberagaman kemampuan dan meningkatkan akselerasi penyusunan kurikulum di daerah. Adanya jaringan kurikulum di setiap daerah diharapkan mampu membantu Pusat Kurikulum dan khususnya pihak dinas pendidikan setempat serta sekolah/madrasah dalam rangka pengembangan kurikulum (baca: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP).

Pembentukan jaringan kurikulum di daerah dilatar belakangi oleh beberapa hal, antara lain yaitu: (1) pengembangan kurikulum harus merupakan suatu siklus kontinuitas dan kompleksitas sebagai suatu proses, (2) pengembangan kurikulum harus merupakan sebagai bagian integral dan berkelanjutan dalam kebijakan perencanaan dan pengembangan sistem pendidikan, dan (3) pengembangan kurikulum sebagai fungsi berkelanjutan memerlukan mekanisme permanen secara nasional maupun regional untuk menghadapi berbagai persoalan yang timbul. Di samping itu, dengan mengkaji perkembangan kurikulum pada hakikatnya akan menyadarkan kita bahwa pengembangan kurikulum dalam suatu sistem pendidikan yang mapan dan baik tidak akan pernah mengenal berhenti. Pengembangan kurikulum akan selalu terjadi, baik dalam kurun waktu tertentu dan teratur maupun kapan saja apabila hal tersebut diperlukan. Kurikulum harus mampu menjawab perubahan tatanan masyarakat, perubahan struktur disiplin keilmuan, dan perubahan pengetahuan tentang tingkah laku peserta didik yang mungkin terjadi setiap saat.

Dengan dibentuknya pengembang kurikulum di daerah, harapannya ialah agar: (1) menumbuhkembangkan kesadaran daerah tentang pentingnya pengembangan kurikulum secara mandiri dan fungsi pendampingan pada satuan pendidikan, (2) terbentuk kesamaan persepsi tentang penyusunan, implementasi, pemantauan, evaluasi, dan penyempurnaan kurikulum oleh pengelola, pengembang dan pelaksana kurikulum, (3) dikuasainya kemampuan pengembangan kurikulum oleh pengelola, pengembang dan pelaksana kurikulum, (4) terjadi proses peningkatan kemampuan daerah dalam pengembangan kurikulum dengan menekankan potensi dan kekuatan yang ada di daerah, dan (5) tersusunnya kurikulum tingkat satuan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, dan perkembangan daerah.

Secara keseluruhan organisasi jaringan kurikulum berkedudukan di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Di tingkat pusat dikordinasikan oleh Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas yang dinamakan Tim Jaringan Kurikulum Pusat. Di tingkat provinsi dikoordinasikan oleh Dinas Pendidikan Provinsi yang dinamakan Tim Jaringan Kurikulum Provinsi. Di tingkat Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota yang dinamakan Tim Jaringan Kurikulum Kabupaten atau Tim Jaringan Kurikulum Kota. Sedangkan personal yang terlibat di dalamnya dinamakan Tim Pengembang Kurikulum (TPK).

Jaringan Kurikulum Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam melaksanakan tugasnya dapat bekerja sama dengan Jaringan Kurikulum Pusat, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), Pusat Pengembangan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depdiknas, Jaringan Penelitian dan Pengembangan (Jarlitbang), Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Kantor Wilayah Departemen Agama, Kantor Wilayah Perwakilan Departemen Agama, perguruan tinggi, Dewan Pendidikan, organisasi profesi, LSM, komite sekolah, Musyawarah Kerja Kepala Sekolah/ Madrasah (MKKS/M, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), dan Kelompok Kerja Guru (KKG).

TPK sebagai pengembang kurikulum di daerah keberadaannya cukup strategis. Ketenagaan TPK merupakan komponen penting sebagai ujung tombak keberhasilan pengembangan kurikulum di daerah. Oleh karena itu, dipandang penting bimbingan teknis dan pendampingan kepada perencana kurikulum di daerah yang merupakan kebutuhan dasar dalam mengembangkan kurikulum. Hal ini dilakukan agar keberadaan TPK dapat terpenuhi baik secara kuantitatif, kualitatif dan status ketenagaan (kualifikasi pendidikan) sehingga proses pengembangan menjadi lebih bermutu. Di samping itu, daerah juga diharapkan mampu memberdayakan potensi satuan pendidikan dengan cara memfasilitasi kegiatan sosialisasi pengembangan kurikulum kepada para guru. Guru-guru hendaknya dilibatkan dalam pengembangan kurikulum.

Di samping tugas utamanya adalah mensosialisasikan (mediator) berbagai kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum, di sisi lain TPK juga berperan memberikan bantuan teknis (fasilitator) kepada satuan pendidikan mengenai penyusunan, implementasi, pemantauan, evaluasi, dan penyempurnaan kurikulum. Pada aktivitas yang lain, TPK dituntut pula mampu mengkaji kebijakan kurikulum, dan mengembangkan (inovator) model-model kurikulum serta pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik, kebutuhan dan perkembangan daerah atau sekolah. Oleh karena itu, mari kita bergandengan dalam mengembangkan kurikulum.

Menyongsong Kurikulum Pendidikan 2009/2010

Razali Ritonga, 13-09-2006

Di tengah keprihatinan akan kualitas pendidikan kita saat ini, tim Olimpiade Fisika kita di Singapura beberapa waktu yang lalu berhasil mengukir prestasi yang sangat menakjubkan. Indonesia memperoleh empat emas dan satu perak serta salah satu di antara empat medali emas itu memperoleh nilai mutlak (the absolute winner). Pencapaian itu membukukan Indonesia sebagai juara dunia Olimpiade Fisika Internasional 2006.

Prestasi Indonesia dalam ajang olimpiade itu dapat dipandang sebagai salah satu wujud visi pendidikan berkualitas dan hal itu berlaku secara universal. Setiap negara menginginkan prestasi serupa. Namun sayang, tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada mereka yang ikut berlomba, pencapaian prestasi itu belum bisa merefleksikan kondisi pendidikan di Tanah Air yang sebenarnya.

Prestasi yang dicapai siswa yang menang dalam olimpiade itu hanya segelintir dari jutaan siswa yang kualitasnya masih memprihatinkan. Kenyataan ini antara lain terindikasi dari standar nilai kelulusan, seperti yang diungkapkan Wakil Presiden Yusuf Kalla saat melepas guru favorit Sumatera-Jawa, yang akan melakukan studi banding ke negara ASEAN pada Juli 2006.

Lebih jauh beliau mengatakan bahwa dari tiga mata pelajaran yang diujikan, yakni bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika, nilai kelulusan yang ditetapkan minimal 4,25, sedangkan Malaysia memakai standar nilai kelulusan 6 dan Singapura 8. Posisi Indonesia hanya sebanding dengan Filipina (Koran Tempo, 17 Juli 2006).

Maka, dalam rangka mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan kita, pemerintah terus berupaya meningkatkan standar kelulusan 0,5 poin setiap tahun. Dengan demikian, pada 2009/2010 diharapkan kualitas pendidikan kita paling tidak menyamai Malaysia. Keseriusan pemerintah mengejar pendidikan berkualitas itu tampaknya bukan sekadar wacana. Hal ini terindikasi dengan dikeluarkannya peraturan nomor 22 dan 23 tahun 2006 oleh Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo.

Dalam peraturan itu antara lain dituliskan, guru sekolah harus menentukan kurikulum sendiri, dengan memperhatikan ciri khas, keunggulan, dan keunikan masing-masing siswa (Koran Tempo, 17 Juli 2006). Konkretnya, untuk memacu kualitas pendidikan, pemerintah akan menerapkan pendidikan berbasis kompetensi.

Tentu, dalam rangka menyongsong kurikulum pendidikan 2009/2010, kita perlu mempersiapkannya secara cermat agar hal itu tidak menjadi sekadar wacana. Pemerintah perlu menyiapkan minimal petunjuk teknis tentang batasan secara umum pendidikan berbasis kompetensi. Terkait dengan hal itu, ada dua hal yang perlu dicermati, yaitu faktor kurikulum dan faktor siswa.
Faktor kurikulum

Peran yang dijalankan oleh Yohanes Surya dalam mempersiapkan tim Olimpiade Fisika kita barangkali bisa dijadikan contoh seorang guru yang berbasis kompetensi. Beliau tahu betul bagaimana menyiapkan siswa bimbingannya memenangi Olimpiade Fisika itu. Persiapan antara lain mencakup desain tentang lama waktu bimbingan, materi pelajaran dan eksperimen, kedisiplinan siswa, serta memotivasi siswa untuk berhasil.

Tak tanggung-tanggung, meski para siswa itu hanya berpendidikan sekolah menengah atas dan satu di antaranya berpendidikan sekolah menengah pertama, ilmu yang dipelajari selama masa bimbingan dalam beberapa aspek setara dengan pengetahuan pascasarjana. Maka, dengan persiapan yang matang, para siswa tidak merasa canggung dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan dalam kompetisi olimpiade.

Satu hal yang menarik adalah dalam tempo enam bulan saja, pengetahuan para siswa dalam aspek tertentu bisa disejajarkan dengan mahasiswa yang duduk di bangku pascasarjana. Padahal secara normal, untuk sampai ke tingkat pengetahuan pascasarjana, para siswa sekolah menengah itu paling tidak membutuhkan waktu minimal tujuh tahun lagi.

Dengan demikian, proses pembelajaran siswa (learning process) yang dilakukan oleh Yohanes Surya itu barangkali bisa dijadikan sebagai salah satu model pembelajaran bagi guru-guru lainnya. Tentu dengan penetapan kurikulum yang agak berbeda, mengingat tujuan yang hendak dicapai berbeda. Kurikulum yang dipersiapkan guru reguler lebih luas karena bertujuan tidak hanya mengejar target kelulusan, tapi lebih dari itu, yakni membentuk kepribadian siswa secara utuh menurut jenjang pendidikannya. Secara keseluruhan, penetapan kurikulum diharapkan dapat mengatasi persoalan bangsa (Kompas, 27 Juli 2006).

Faktor siswa

Meski demikian, guru yang berkompeten dan kurikulum yang outstanding belum tentu akan menghasilkan siswa yang berkualitas, karena hal itu juga dipengaruhi oleh kesiapan murid menerima pelajaran. Sangat kebetulan memang siswa yang diikutkan dalam olimpiade adalah siswa yang terbaik, sehingga mereka siap menerima berbagai pengetahuan yang diberikan, termasuk pengetahuan yang tergolong baru. Sementara itu, realitas yang ada, jutaan siswa masih berkemampuan pas-pasan

Kesiapan siswa untuk mampu belajar optimal disadari tidak hanya ditentukan oleh faktor mental, tapi juga dipengaruhi faktor kesiapan fisik yang terbentuk sejak dilahirkan hingga mencapai usia di bawah lima tahun (balita). Kemampuan maksimum prestasi anak antara lain terkait dengan faktor gizi. Hasil penelitian Sigueira (1982) menyebutkan bahwa kapasitas otak anak sewaktu dilahirkan adalah 25 persen. Kemudian meningkat menjadi 50 persen pada usia 15 hari dan menjadi 75 persen pada usia 4 tahun. Kunci dari proses pengembangan ini terletak pada sel saraf enchepalon, yang tidak hanya berfungsi mengontrol inteligensi, tapi juga emosi dan koordinasi fisik. Proses perkembangan pada area ini berkaitan dengan pemenuhan gizi secara baik.

Realitas yang ada saat ini adalah masih banyaknya anak yang kekurangan gizi. Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi sosial 2002 misalnya, diperoleh catatan sekitar 25,8 persen balita menderita kekurangan gizi. Angka itu sedikit meningkat menjadi 27,6 persen pada 2003. Kemiskinan merupakan faktor penyebab balita menderita kekurangan gizi. Di tengah merosotnya daya beli masyarakat saat ini, anak balita yang menderita kekurangan gizi itu diperkirakan meningkat.

Maka, untuk menyongsong visi pendidikan yang berkualitas pada 2009/2010, kita perlu mencari solusi dari realitas persoalan yang dihadapi. Ketersediaan guru dengan kompetensi yang mumpuni, kurikulum yang andal, dan kesiapan siswa dalam mengikuti pelajaran merupakan aspek yang perlu segera dituntaskan. Solusi terhadap guru yang berbasis kompetensi tidak terlepas dari peningkatan mutu guru, antara lain melalui pembidangan keilmuan dan peningkatan jenjang pendidikan.

Adapun solusi terhadap peningkatan kesiapan siswa dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu jalur sekolah dan jalur rumah tangga. Melalui jalur sekolah untuk peningkatan disiplin belajar, sedangkan melalui jalur rumah tangga untuk peningkatan asupan gizi dan waktu belajar. Kita berharap, prestasi yang diukir segelintir siswa dalam olimpiade itu merupakan salah satu bentuk konkret visi pendidikan berkualitas, yang dapat diperjuangkan agar menular kepada semua siswa di Tanah Air.

Makalah Profesi Kependidikan - Manajemen Kesiswaan

Dapatkah anda bayangkan bila segala sesuatu itu berjalan tanpa adanya pengaturan dan peraturan. Sebagai contoh : bumi, bulan, Jupiter, Mars dan segala isi tata surya ini berjalan dan beredar tanpa adanya jalur, atau dapat kita gunakan anologi sederhana apabila seorang anggota masyarakat selalu berbuat sekehendak hatinya tanpa mempertimbangkan perasaan tetangga dan kerabat yang di dekatnya. Dalam dunia industri pun dapat kita ambil contoh apabila suatu perusahaan yang berkaryawan sebanyak 10 orang semuanya adalah pekerja atau supervisor atau manajer, maka bagaimana perusahaan tersebut jadinya? Dalam hal ini diperlukanlah suatu peraturan yang mengatur atau memanajemen guna mencapai tujuan yang dikehendaki bersama.

Dalam dunia pendidikan pun dibutuhkan pengaturan yang sangat teliti. Hal ini digunakan guna mencapai tujuan dari pengadaan sekolah tersebut dan juga tujuan lainnya. Pengaturan dalam dunia pendidikan atau secara sederhana dalam sekolah tentu berbeda dengan pengaturan yang terdapat dalam masyarakat dan dunia industri. Aturan, struktur organisasi, kebutuhan dan manajemen serta tujuan yang digunakan akan disesuaikan dengan keadaan yang diperlukan.

Dalam sekolah terdapat kepala sekolah yang bertindak sebagai Manajer umum, para wakil kepala sekolah sebagai manajer lainnya dan guru sebagai ujung tombak bagian produksi. Sebagai perusahaan (bila dapat kita sebut demikian) penyedia jasa pendidikan sekolah pun memerlukan taktik guna menarik para pelanggannya dalam hal ini adalah para siswa dan wali murid. Setelah mendapatkan kepercayaan dari pelanggan ini (siswa dan wali murid) sekolah harus menjaganya dengan membina para siswa dan memberikan layanan – layanan khusus sampai dengan pembinaan para alumni agar pelanggan tidak lari dan dapat menjadi pemasar (marketing) dari mulut ke mulut atau yang penulis sebut dengan MTM (mouth to mouth).

Strategi Mewujudkan Sekolah Murah di Indonesia

Selasa, 14 Oktober, 2008 oleh Ilma Pratidina

Inflasi dan peningkatan harga kebutuhan pokok berimplikasi pada banyak sektor, dan diantaranya: sektor pendidikan. Berapa banyak orang tua siswa yang mengeluh mahalnya biaya pendidikan terutama di awal tahun ajaran baru? Berapa banyak anak yang terpaksa “menunda” masuk sekolah karena tidak ada biaya? Mengapa di tahun ke-63 Indonesia merdeka pendidikan masih menjadi barang mewah bagi banyak orang?

Adalah tanggung jawab generasi kita sekarang untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik bagi Indonesia. Untuk itu perhatian ke dunia pendidikan dalam rangka mencetak anak-anak bangsa yang berkualitas dan mampu membawa negeri ini terhadap kondisi yang lebih baik harus lebih diprioritaskan. Miris mendapati kenyataan bahwa di kota-kota besarpun kita masih menjumpai banyak anak yang kesulitan bersekolah.

Tulisan ini bertujuan sebagai saran dan masukan agar anak-anak Indonesia tidak perlu menangis demi mendapatkan sesuatu yang sudah selayaknya menjadi hak mereka yaitu: sekolah.

- Subsidi Pendidikan Lebih Besar

Terwujudnya sekolah murah adalah dengan memperkecil beban biaya orang tua siswa. Dalam hal ini dukungan pemerintah sangat penting. Sekolah pada era 80-90an banyak menggunakan buku diktat yang disediakan secara gratis oleh sekolah. Waktu itu buku-buku tersebut diterbitkan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan. Kemudian buku-buku tersebut semakin jarang, siswa harus membeli buku. Hal lain adalah infrastruktur fisik sekolah, seperti ruangan dan sarana prasarana penyelenggaraan sekolah tiap tahun juga banyak dibebankan kepada orang tua siswa.

- Tumbuh Suburkan Beasiswa

Beasiswa banyak menjadi banyak harapan dari siswa-siswa yang ingin terus bersekolah namun terganjal urusan biaya. Beasiswa dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi perlu ditumbuhsuburkan. Lembaga-lembaga sosial seperti lembaga orang tua asuh dan beasiswa dari perusahaan memberikan peran yang signifikan terhadap pemberian beasiswa.

- Sekolah Alternatif Lebih Didorong dan Dihargai

Bagi anak-anak yang berada di kawasan jauh dari pemukiman padat ataupun anak-anak dari golongan marjinal akan sangat membutuhkan sekolah alternatif. Bagi mereka ini seperti oase di padang pasir. Segala upaya dari lembaga pemerintahan ataupun non pemerintahan untuk hal ini harus lebih didukung dan dihargai karena kita masih memerlukan banyak sekolah alternatif untuk mewujudkan pendidikan yang meluas dan merata.

- Kurikulum yang Ringkas dan Tepat Sasaran

Tidak perlu menyusun kurikulum yang terlalu berat dan gemuk untuk mencetak siswa-siswa yang unggul. Adanya penjurusan SMA di tahun kedua mulai beberapa tahun yang lalu adalah perkembangan yang positif. Pemberian kurikulum yang ringkas dan tepat sasaran akan membantu siswa dan orang tua siswa. Kesadaran siswa terhadap apa yang didapatkannya dari pendidikan, kesadaran terhadap minat pada mata pelajaran tertentu perlu didukung lebih dini agar siswa tau apa yang akan dicapai lewat sekolah.

- Sistematika Bebas Tes dan Bebas Biaya Masuk Sekolah

Sistematikan bebas tes dan bebas biaya masuk sekolah sebaiknya dipertahankan. Porsi ini sepertinya mulai menyusut ketika perguruan tinggi memiliki sistematika sendiri dalam penerimaan mahasiswa. Akibatnya biaya pendidikan semakin mahal sehingga hanya kalangan berduit yang mampu menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi incaran mereka. Padahal sistem bebas tes dan bebas biaya masuk sekolah masih menjadi harapan dan incaran bagi banyak siswa maupun orang tua siswa.

- Promosikan Profesi sebagai Guru

Profesi sebagai guru semakin tidak populer. Padahal guru besar pengaruhnya terhadap pendidikan generasi penerus. Paradigma ini perlu digeser sedikit demi sedikit. Guru adalah profesi yang mulia namun hanya sedikit mereka yang menjadikan guru sebagai pilihan profesi. Promosi terhadap posisi guru sebagai pendidik dan perhatian terhadap kesejahteraan mereka akan lebih membuka mata banyak orang untuk bersedia berprofesi sebagai guru.

- Minimalisir Ketimpangan Mutu dan Sarana Pendidikan

Besar sekali ketimpangan mutu dan sarana pendidikan. Ada sekolah dasar yang mewajibkan siswanya membuka internet sebagai pekerjaan rumah, ada banyak anak kecil yang membawa flash disk ke sekolah, namun masih lebih banyak sekolah yang sarana pendidikannya masih memprihatinkan. Jumlah guru yang terlalu sedikit, jumlah buku yang kurang, jumlah ruang kelas yang tidak mencukupi masih banyak kita jumpai.

- Sosialisasi Sektor Pendidikan sebagai Tanggung Jawab Bersama

Sektor pendidikan merupakan tanggung jawab bersama warga Indonesia. Perlu adanya sosialisasi dan pemahaman terhadap hal ini sehingga akan mempermudah sinergi antara pihak pemerintah, penyelenggara sekolah, orang tua siswa, dan siswa itu sendiri.

Majunya pendidikan di Indonesia agar anak-anak generasi penerus menjadi generasi yang berkualitas dan mampu menghadapi tuntutan perkembangan zaman dengan mantap. Dan semoga semakin berkurang keberadaan Lintang-Lintang kecil seperti di film Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata. Semoga.

MENYELENGGARAKAN SEKOLAH UNGGUL PERLU MEMBUDAYAKAN GEMAR MEMBACA

Oleh : Marjohan, July 12, 2008

Akhir-akhir ini ada ide un¬tuk menyelenggarakan, sekolah unggul. Tentu ini amal mem¬banggakan kita semua, sebab selama ini seolah-olah orang kita, cuma tenggelam dalam kri¬tik-mengkritik saja. Halaman surat kabar clan media lain banyak menceritakan tentang kualitas dunia pendidikan yang rendah. Kemudian pemikir pen¬didikan mengadakan usaha tam¬bal sulam dan sedikit perubah¬an-perubahan dimana pada akhirnya tetap menunjukkan kualitas yang tidak beranjak.
Kata orang tua-tua, karena mudahnya untuk bersekolah sekarang membuat orang ada yang memandang enteng saja dunia pendidikan. Tingkat ke¬benaran pernyataan ini tentu tergantung kepada persepsi kita masing-masing. Yang jelas dalam pandangan kita tetap ada murid yang semangat belajar tinggi tetapi banyak pula mere¬ka yang memandang sekolah ini sebagai main-main saja. Agak¬nya setiap kita pernah mendengar guyon-guyon lucu yang mereka katakan: Sekolah itu pergaulan, SPP sumbangan dan buku rapor undangan.
Sebelum istilah sekolah unggul muncul dalam surat kabar, dulu telah ada pula istilah seko¬lah plus. Untuk SMA bernama SMA PLUS. Bisa jadi bahwa sekolah plus itu lah yang dike¬nal dengan istilah sekolah ung¬gul clan ini telah berdiri di Indo¬nesia. Dimana sebagai contoh dan patokan pula bagi daerah-daerah lain yang berminat mengikutinya.
Arti “Plus” atau “unggul” adalah menunjukkan jaminan mutu. Sebab kita mengharapkan sekolah-sekolah unggul dapat mengeluarkan lulusan yang ber¬mutu. Ada dua sekolah yang menyelenggarakan sekolah unggul di Indonesia, yaitu SMA Taruna Nusantara Magelang dan SMA Soposurung. Tentu akan dan telah bermunculan pula ditempat-tempat lain.
SMA Taruna Nusantara, yang didirikan tahun 1990 di Ma¬gelang, merupakan SMA Plus (unggul) swasta murni yang ber¬diri alas kerja sama ‘MABES ABRI dan perguruan Taman Siswa. SMA Soposurung, di Sumatera Utara, dimulai tahun 1991, menggunakan model ker¬ja sama pemerintah dan swasta. Pemerintah menyediakan SMA Negeri 3 Soposurung, sementara yayasan Soposurung mem¬bangun asrama; menyediakan bea siswa clan membiayai pen¬didikan ekstrakurikuler.
Keunggulan SMA-SMA di¬atas, nilainya, ada pada asrama yang tidak hanya sebagai tempat menginap. Asrama untuk seko¬lah ini dilengkapi dengan fasili¬tas penunjang clan bimbingan bagi siswa di luar jam pelajar¬an. Artinya pendidikan yang diberikan boleh dikatakan terin¬tegrasi antara pendidikan di kelas dan pendidikan mental disiplin asrama.
Belajar dan tinggal di sekolah unggul semua serba diatur. Saat baru bangun tidur, pukul lima pagi, siswa-siswa langsung di¬giring untuk senam pagi. Lalu ada bimbingan rohani sebelum makan pagi dan berangkat seko¬lah. Seusai sekolah ada berbagai kegiatan dari olah raga, berdiskusi sampai pada cera¬mah ilmiah. Demikian kata salah seorang siswa SMA Ta¬runa Nusantara asal Sumatera Barat.
Tahun lalu beberapa provinsi juga akan membuka beberapa sekolah unggul, SMA Plus, yang semuanya mengacu pada model SMA Taruna Magelang atau SMA Soposurung Suma¬tera Utara. Begitu pula halnya dengan provinsi ini, Sumatera Barat, di mata jajaran Depdik¬bud telah menyelenggarakan rapat-rapat kerja tentang penyelenggaraan sekolah unggul.
Agaknya menarik juga meng¬ikuti tulisan Naswardi dalam pojok komentar yang berbunyi “Padang perlu sekolah unggul” (Singgalang, 31 Januari 1995). Dalam tulisan itu dinyatakan tentang misi sekolah unggul yakni meningkatkan dan mengembangkan potensi sumber¬ daya manusia Indonesia sebagai subyek dan wahana untuk men¬capai tujuan pembangunan na¬sional.
Menurutnya bahwa sekolah unggul tidak semudah yang dibayangkan dan harus memili¬ki tingkat fleksibilitas yang tinggi. Faktor yang menentukan dalam penyelenggaraan sekolah unggul adalah penerapan dan pengembangan kurikulum, dan proses belajar mengajar yang dapat memacu dan mewadahi integrasi antara pengembangan logika, kreatif dan estetika. Dis¬amping pembenahan proses pengadaan, pengangkatan, pen¬empatan dan pembinaan tenaga pendidik.
Kemudian, kepala sekolah menduduki peran yang amat penting dalam pengembangan dan mengelola seluruh sumber¬ daya yang dapat mendukung keunggulan sistem sebuah sekolah unggul. Ia mempunyai kemam¬puan manejerial yang tinggi dan pengalaman sebagai kepala sekolah minimal tiga tahun.
Guru yang selalu berhadapan dengan murid di sekolah me¬nempati peranan kunci dalam mengelola kegiatan proses bela¬jar mengajar. Pada jenjang Sekolah Dasar sebagai sekolah unggul yang dirintis akan menggunakan pendekatan sis¬tem guru kelas. Sedangkan pada tingkat SMP dan SMA menggu¬nakan sistem guru mata pelaja¬ran. Keunggulan guru tidak ha¬nya ditakar dari kemampuan in¬telektualnya melainkan juga ke¬unggulan aspek moral, keiman¬an, ketaqwaan, disiplin, bertanggung jawab, keluasan wa¬wasan kependidikannya dalam mengelola kegiatan proses bela¬jar mengajar.
Rasanya untuk menyelengga¬rakan sebuah sekolah unggul betul-betul memerlukan rencana dan persiapan yang matang dan komplit. Dan semua ini amat didukung oleh penyediaan dana yang besar. Sedangkan dalam meningkatkan kualitas dan kwantitas dunia pendidikan kita dana inilah yang selalu menjadi kendala. Bayangkan saja untuk anggaran pendidikan yang dise¬diakan negara kita cuma sekian persen saja, belum apa-apa dengan jumlah anggaran militer dan sebagainya. Konon kabar¬nya persentase anggaran pendi¬dikan di negara kita terendah untuk tingkat negara ASEAN. Namun untuk kelancaran seko¬lah-sekolah unggul, yang tadi disebutkan, tergantung banyak kepada sokongan swasta. Mengingat begitu banyaknya jumlah sekolah di negeri ini, tentu cuma segelintir saja jumlah keberadaan sekolah unggul ini. Kecuali nanti apabila kondisi negara kita amat mapan secara (pengadaan) materil dan spiritual. Bagaimana dengan ke¬beradaan sekolah-sekolah lain, padahal memperoleh pendidi¬kan yang berkualitas adalah ter¬masuk hak mereka dan kita se¬mua. Kalau begitu menyeleng¬garakan sekolah unggul adalah juga sebuah hak yang harus dipikirkan dan diperhitungkan.
Untuk menjadi unggul (pin¬tar) faktor tempat tidaklah selalu menentukan. Seseorang yang berada di pedalaman Irian Jaya dapat saja menjadi orang yang unggul atau berpikiran mo¬deren kalau ia sanggup me¬ngembangkan potensial diri dan otak adalah potensial utama kita. Begitu pula halnya dengan sekolah-sekolah, tetaplah disana ada tenaga potensial yang dapat dikembangkan. Selama ini ada sebuah potensial sekolah yang belum dimanfaatkan secara penuh yaitu “pustaka”.
Untuk menyelenggarakan se¬kolah unggul tentu (kita) perlu membudayakan gemar mem¬baca. Sebab tanpa gemar mem¬baca sekolah unggul yang di¬harapkan tentu cuma selalu be¬rada dalam mimpi.
Menyelenggarakan sekolah unggul ala SMA Taruna Ma¬gelang bagi sekolah-sekolah di daerah tentulah di luar kemam¬puan karena biayanya amat ma¬hal. Tetapi menyelenggarakan sekolah unggul dalam arti kata peningkatan mutu ini memerlu¬kan kemauan kita dalam mem¬belajarkan diri agar wawasan pendidikan dan intelektual kita meningkat.
Untuk ini usaha kita amat berhubungan dengan buku dari perpustakaan. Untuk itu ke¬beradaan perpustakaan sekolah, sekali lagi, perlu dikembangkan agar budaya gemar membaca dapat terwujud.
Kalau kita perhatikan kegia¬tan siswa di luar jam pelajaran di sekolah cuma hura-hura me¬lulu dalam arti kata tidak sebe¬rapa siswa yang melatih minat dengan keberadaan pustaka, ka¬laupun ada pustaka di kebanya¬kan sekolah cuma minim fasilitas dan terkunci melulu. Ini me¬nunjukkan kondisi minat baca yang rendah. Padahal syarat untuk maju musti gemar mem¬baca.
Kondisi minat baca yang ren¬dah pada tingkat SD dan seko¬lah menengah membawa penga¬ruh pada tingkat selanjutnya. Tingkat dasar harus menjadi perhatian utama. Karena se¬makin baik peranan di tingkat dasar ini akan semakin baik pula untuk tingkat selanjutnya. Kalau kita amati kebiasaan membaca yang rendah pada waktu sekolah dasar menyebab¬kan kebiasaan membaca pada tingkat SLTP dan SLTA rendah pula. Pada akhirnya pada ting¬kat perguruan tinggi demikian pula dimana mahasiswanya ba¬nyak yang kasak kusuk dan ti¬dak percaya diri. Menghadapi masa tentamen (ujian) dengan sistem sopir atau mengandalkan jimat ala anak SMA. Kelak dalam menyelesaikan skripsi dan tesis ban yak yang kelaba¬kan terpaksa comot sana comot sini.
Minat baca yang rendah tentu saja dapat ditingkatkan. Dalam upaya ini penyediaan sarana amat penting di kalangan ge¬nerasi muda. Membenahi pusta¬ka dengan menyingkirkan tem¬patkan buku-buku teks yang ti¬dak terpakai dan menempatinya dengan bahan bacaan yang me¬narik dan merangsang intelektu¬al siswa amat bermanfaat. Su¬dah sepatutnya pihak sekolah, dan jajaran pendidikan, untuk memikirkan melowongan waktu yang agak panjang agar siswa punya kesempatan untuk meni¬kmati keberadaan pustaka. Ke¬mudian memperkenalkan buku-buku yang bermanfaat kepada anak didik agar mereka dapat mengenal.
Sebab seperti kata-kata ro¬mantis “tak kenal maka tak cin¬ta”. Andai kata siswa-siswa (generasi muda) telah mengenal indahnya buku tentu kelak bu¬daya membaca akan dapat ter¬wujud. Kalau membaca telah membudaya tentu harga buku tidaklah menjadi persoalan bagi mereka, sebab bukankah untuk membeli sarana hiburan yang jauh lebih mahal mampu orang ¬tua mereka memenuhinya.
Terakhir, kalau mereka telah membudayakan kebiasaan membaca tentu mereka nanti dapat menjadi siswa-siswa yang unggul yang selanjutnya akan menentukan keunggulan sekolah.

Sumber: www.edu-articles.com