Senin, 09 Maret 2009

Menyongsong Kurikulum Pendidikan 2009/2010

Razali Ritonga, 13-09-2006

Di tengah keprihatinan akan kualitas pendidikan kita saat ini, tim Olimpiade Fisika kita di Singapura beberapa waktu yang lalu berhasil mengukir prestasi yang sangat menakjubkan. Indonesia memperoleh empat emas dan satu perak serta salah satu di antara empat medali emas itu memperoleh nilai mutlak (the absolute winner). Pencapaian itu membukukan Indonesia sebagai juara dunia Olimpiade Fisika Internasional 2006.

Prestasi Indonesia dalam ajang olimpiade itu dapat dipandang sebagai salah satu wujud visi pendidikan berkualitas dan hal itu berlaku secara universal. Setiap negara menginginkan prestasi serupa. Namun sayang, tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada mereka yang ikut berlomba, pencapaian prestasi itu belum bisa merefleksikan kondisi pendidikan di Tanah Air yang sebenarnya.

Prestasi yang dicapai siswa yang menang dalam olimpiade itu hanya segelintir dari jutaan siswa yang kualitasnya masih memprihatinkan. Kenyataan ini antara lain terindikasi dari standar nilai kelulusan, seperti yang diungkapkan Wakil Presiden Yusuf Kalla saat melepas guru favorit Sumatera-Jawa, yang akan melakukan studi banding ke negara ASEAN pada Juli 2006.

Lebih jauh beliau mengatakan bahwa dari tiga mata pelajaran yang diujikan, yakni bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika, nilai kelulusan yang ditetapkan minimal 4,25, sedangkan Malaysia memakai standar nilai kelulusan 6 dan Singapura 8. Posisi Indonesia hanya sebanding dengan Filipina (Koran Tempo, 17 Juli 2006).

Maka, dalam rangka mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan kita, pemerintah terus berupaya meningkatkan standar kelulusan 0,5 poin setiap tahun. Dengan demikian, pada 2009/2010 diharapkan kualitas pendidikan kita paling tidak menyamai Malaysia. Keseriusan pemerintah mengejar pendidikan berkualitas itu tampaknya bukan sekadar wacana. Hal ini terindikasi dengan dikeluarkannya peraturan nomor 22 dan 23 tahun 2006 oleh Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo.

Dalam peraturan itu antara lain dituliskan, guru sekolah harus menentukan kurikulum sendiri, dengan memperhatikan ciri khas, keunggulan, dan keunikan masing-masing siswa (Koran Tempo, 17 Juli 2006). Konkretnya, untuk memacu kualitas pendidikan, pemerintah akan menerapkan pendidikan berbasis kompetensi.

Tentu, dalam rangka menyongsong kurikulum pendidikan 2009/2010, kita perlu mempersiapkannya secara cermat agar hal itu tidak menjadi sekadar wacana. Pemerintah perlu menyiapkan minimal petunjuk teknis tentang batasan secara umum pendidikan berbasis kompetensi. Terkait dengan hal itu, ada dua hal yang perlu dicermati, yaitu faktor kurikulum dan faktor siswa.
Faktor kurikulum

Peran yang dijalankan oleh Yohanes Surya dalam mempersiapkan tim Olimpiade Fisika kita barangkali bisa dijadikan contoh seorang guru yang berbasis kompetensi. Beliau tahu betul bagaimana menyiapkan siswa bimbingannya memenangi Olimpiade Fisika itu. Persiapan antara lain mencakup desain tentang lama waktu bimbingan, materi pelajaran dan eksperimen, kedisiplinan siswa, serta memotivasi siswa untuk berhasil.

Tak tanggung-tanggung, meski para siswa itu hanya berpendidikan sekolah menengah atas dan satu di antaranya berpendidikan sekolah menengah pertama, ilmu yang dipelajari selama masa bimbingan dalam beberapa aspek setara dengan pengetahuan pascasarjana. Maka, dengan persiapan yang matang, para siswa tidak merasa canggung dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan dalam kompetisi olimpiade.

Satu hal yang menarik adalah dalam tempo enam bulan saja, pengetahuan para siswa dalam aspek tertentu bisa disejajarkan dengan mahasiswa yang duduk di bangku pascasarjana. Padahal secara normal, untuk sampai ke tingkat pengetahuan pascasarjana, para siswa sekolah menengah itu paling tidak membutuhkan waktu minimal tujuh tahun lagi.

Dengan demikian, proses pembelajaran siswa (learning process) yang dilakukan oleh Yohanes Surya itu barangkali bisa dijadikan sebagai salah satu model pembelajaran bagi guru-guru lainnya. Tentu dengan penetapan kurikulum yang agak berbeda, mengingat tujuan yang hendak dicapai berbeda. Kurikulum yang dipersiapkan guru reguler lebih luas karena bertujuan tidak hanya mengejar target kelulusan, tapi lebih dari itu, yakni membentuk kepribadian siswa secara utuh menurut jenjang pendidikannya. Secara keseluruhan, penetapan kurikulum diharapkan dapat mengatasi persoalan bangsa (Kompas, 27 Juli 2006).

Faktor siswa

Meski demikian, guru yang berkompeten dan kurikulum yang outstanding belum tentu akan menghasilkan siswa yang berkualitas, karena hal itu juga dipengaruhi oleh kesiapan murid menerima pelajaran. Sangat kebetulan memang siswa yang diikutkan dalam olimpiade adalah siswa yang terbaik, sehingga mereka siap menerima berbagai pengetahuan yang diberikan, termasuk pengetahuan yang tergolong baru. Sementara itu, realitas yang ada, jutaan siswa masih berkemampuan pas-pasan

Kesiapan siswa untuk mampu belajar optimal disadari tidak hanya ditentukan oleh faktor mental, tapi juga dipengaruhi faktor kesiapan fisik yang terbentuk sejak dilahirkan hingga mencapai usia di bawah lima tahun (balita). Kemampuan maksimum prestasi anak antara lain terkait dengan faktor gizi. Hasil penelitian Sigueira (1982) menyebutkan bahwa kapasitas otak anak sewaktu dilahirkan adalah 25 persen. Kemudian meningkat menjadi 50 persen pada usia 15 hari dan menjadi 75 persen pada usia 4 tahun. Kunci dari proses pengembangan ini terletak pada sel saraf enchepalon, yang tidak hanya berfungsi mengontrol inteligensi, tapi juga emosi dan koordinasi fisik. Proses perkembangan pada area ini berkaitan dengan pemenuhan gizi secara baik.

Realitas yang ada saat ini adalah masih banyaknya anak yang kekurangan gizi. Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi sosial 2002 misalnya, diperoleh catatan sekitar 25,8 persen balita menderita kekurangan gizi. Angka itu sedikit meningkat menjadi 27,6 persen pada 2003. Kemiskinan merupakan faktor penyebab balita menderita kekurangan gizi. Di tengah merosotnya daya beli masyarakat saat ini, anak balita yang menderita kekurangan gizi itu diperkirakan meningkat.

Maka, untuk menyongsong visi pendidikan yang berkualitas pada 2009/2010, kita perlu mencari solusi dari realitas persoalan yang dihadapi. Ketersediaan guru dengan kompetensi yang mumpuni, kurikulum yang andal, dan kesiapan siswa dalam mengikuti pelajaran merupakan aspek yang perlu segera dituntaskan. Solusi terhadap guru yang berbasis kompetensi tidak terlepas dari peningkatan mutu guru, antara lain melalui pembidangan keilmuan dan peningkatan jenjang pendidikan.

Adapun solusi terhadap peningkatan kesiapan siswa dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu jalur sekolah dan jalur rumah tangga. Melalui jalur sekolah untuk peningkatan disiplin belajar, sedangkan melalui jalur rumah tangga untuk peningkatan asupan gizi dan waktu belajar. Kita berharap, prestasi yang diukir segelintir siswa dalam olimpiade itu merupakan salah satu bentuk konkret visi pendidikan berkualitas, yang dapat diperjuangkan agar menular kepada semua siswa di Tanah Air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar