Rabu, 27 Mei 2009

Pendidikan Gratis Untuk Semua : yakin bisa!!!!

Syariah Publications. Tidak ada yang memungkiri jika Indonesia adalah negeri yang kaya raya. Tapi pertanyaan yang langsung menohok kita adalah kemanakah kekayaan yang kita miliki itu sehingga kualitas SDM penduduknya banyak yang berada di bawah garis kemiskinan, angka putus sekolah tinggi, utang luar negeri tidak terbayang kapan bisa lunas, angka kualitas hidup rendah dan indikator-indikator yang menunjukkan rendahnya kualitas SDM yang lain.
Kita paham bahwa kualitas SDM itu merupakan pencapaian atau hasil dari sebuah proses yang kompleks, bukan inhern dengan penciptaan suatu umat/masyarakat. Proses yang kompleks itu melibatkan pengelolaan/manajemen yang baik pada berbagai bidang, yakni ekonomi, pemerintahan, politik, pendidikan, hukum, sosial kemasyarakatan dan yang lainnya. Namun pada kesempatan kali ini kita mendiskusikan aspek yang sangat penting dalam pembentukan kualitas SDM, yakni aspek/bidang pendidikan.
“Orang miskin dilarang sekolah,” demikian jeritan pilu masyarakat saat ini menanggapi mahalnya biaya pendidikan, khususnya biaya pendidikan tinggi. Jeritan masyarakat yang demikian itu senantiasa terjadi dan menghantui para orang tua menjelang awal tahun ajaran baru. Para orang tua dibikin pusing ”seribu” keliling untuk memikirkan dari mana biaya untuk memasukkan anaknya ke sekolah negeri. Kondisi yang sangat mencolok mata dan sudah menjadi rahasia umum adalah ketika akan memasuki perguruan tinggi.
Betapa tidak, pada sejumlah PTN yang berformat BHMN (Badan Hukum Milik Negara), –awalnya seperti UI, IPB, ITB, UGM, disusul UPI dan UNAIR, dan segera menyusul PTN-PTN yang lain jika tidak segera dihentikan–, pembiayaan tak lagi sepenuhnya ditanggung negara. Maka perguruan tinggi BHMN pun harus mencari biaya sendiri. Pembiayaan pendidikan lalu dibebankan kepada mahasiswa. Sebagai contoh, fakultas kedokteran sebuah PTN melalui “jalur khusus”, ada mahasiswa yang harus membayar Rp 250 juta bahkan Rp 1 miliar (www.wikimu.com).
Pendidikan memang butuh pembiayaan yang besar. Namun mahalnya biaya pendidikan saat ini karena ada sesuatu yang aneh, ganjil dan tidak masuk akal, yaitu kebijakan pendidikan negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini malah berpijak pada ideologi kafir-kapitalisme khususnya varian/jenis neoliberalisme. Ideologi ini menekankan pada perluasan pasar bebas pada berbagai bidang (termasuk pendidikan), peran negara yang terbatas dan dibatasi, dan individualisme (Adams, 2004). Padahal ideologi inilah yang diemban AS dan negara-negara kafir Barat dalam rangka melanggengkan dan semakin mengokohkan dominasinya atas negara-negara Dunia Ketiga, yang mayoritas adalah negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia.
Dominasi ideologi kafir ini telah begitu menghujam dalam pola pikir dan pola tindak masyarakat kita yang kebanyakan muslim, baik rakyat maupun pemerintahnya. Wajar jika pemerintah yang semestinya bertindak bagaikan penggembala, telah berubah fungsi menjadi serigala buas yang tega menghisap darah rakyatnya sendiri. Di tengah kesulitan hidup yang berat karena kemiskinan, pendidikan mahal akibat tunduk pada agenda neoliberalisme global, semakin melengkapi kegagalan pemerintah sekuler saat ini.
Adapun contoh dominasi ideologi kapitalisme pada masyarakat adalah paradigma pendidikan sebagai ’investasi’ dan pendidikan adalah tanggung jawab bersama masyarakat sebagaimana yang sering dipromosikan di media massa. Paradigma ini keliru karena masyarakat akan berpandangan bahwa untuk memperoleh pendidikan berkualitas maka harus semakain besar pula ’modal’ yang harus dikeluarkan. Output pendidikan semacam ini lulusan-lulusan yang ’berorientasi balik modal dulu’. Pemikiran inilah yang kemudian membelenggu kepekaan sosial dan jiwa rela berkorban, serta individualis.
Sedangkan penerimaan paradigma bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama adalah semakin mengokohkan dan menjadi pembenaran bagi pemerintah menyimpang dari tugas utamanya mengurus urusan masyarakat. Lambat laun, masyarakat akan mulai meninggalkan paradigma ’pendidikan gratis’ yang sesungguhnya menjadi hak mereka. Konsekuensi logisnya, masyarakat semakin dibebani biaya hidup yang dapat berakibat semakin meningkatnya penyakit-penyakit kejiwaan di masyarakat. Lalu, apa gunanya mereka mengangkat pemerintah yang diamanahi mengurus kepentingan mereka????
Lalu, mungkinkah kita menyelenggarakan pendidikan gratis? Jawabanya dengan penuh keyakinan, MUNGKIN dan BISA!!! Pernyataan ini didukung oleh beberapa hal. Pertama, secara potensi kekayaan dan sumber daya alam kita melimpah. Untuk negeri muslim Indonesia saja, apabila mengacu pada APBN 2007, anggaran untuk sektor pendidikan adalah sebesar Rp 90,10 triliun atau 11,8 persen dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun. (www.tempointeraktif.com, 8 Januari 2007). Angka Rp 90,10 triliun itu belum termasuk pengeluaran untuk gaji guru yang menjadi bagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang pendidikan, serta anggaran kedinasan.
Misalkan kita ambil angka Rp 90,1 triliun sebagai patokan anggaran pendidikan tahun 2007 yang harus dipenuhi. Dengan melihat potensi kepemilikan umum (sumber daya alam) yang ada di Indonesia, dana sebesar Rp 90,1 triliun akan dapat dipenuhi, asalkan penguasa mau menjalankan Islam, bukan neoliberalisme. Berikut perhitungannya yang diolah dari berbagai sumber :
1. Potensi hasil hutan berupa kayu [data 2007] sebesar US$ 2.5 miliar (sekitar Rp 25 triliun).
2. Potensi hasil hutan berupa ekspor tumbuhan dan satwa liar [data 1999] sebesar US$ 1.5 miliar (sekitar Rp 15 triliun).
3. Potensi pendapatan emas di Papua (PT. Freeport) [data 2005] sebesar US$ 4,2 miliar (sekitar Rp 40 triliun)
4. Potensi pendapatan migas Blok Cepu per tahun sebesar US$ 700 juta – US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 10 triliun)
Dari empat potensi di atas saja setidak-tidaknya sudah diperoleh total Rp 90 triliun. Kalau masih kurang, jalankan penegakan hukum dengan tegas, insya Allah akan diperoleh tambahan sekitar Rp 54 triliun. Sepanjang tahun 2006, ICW (Indonesia Corruption Watch) mencatat angka korupsi Indonesia sebesar Rp 14,4 triliun. Nilai kekayaan hutan Indonesia yang hilang akibat illegal logging tahun 2006 sebesar Rp 40 triliun.
Kedua, secara ‘itiqadi (keyakinan) penduduknya yang mayoritas muslim meyakini bahwa Allah Swt. telah mewajibkan setiap muslim untuk menuntut ilmu (mendapat pendidikan) dan melakukan amar ma’ru nahy munkar dan mewajibkan setiap pemimpin, khususnya pemerintah untuk mengurusi persoalan masyarakat yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak pada Hari Akhir.
Faktor kedua ini dapat menjadi pendorong dan etos masyarakat untuk belajar dan menghargai ilmu. Begitu juga keseriusan pemerintah mengurus pendidikan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengakses pendidikan, serta membangun infrastruktur pendidikan agar menutup celah tidak ada alasan di hadapan Allah atas pengaduan masyarakat tidak memperoleh pendidikan. Begitu juga ketika masyarakat cerdas, mengetahui hak dan kewajiban mereka terhadap pemerintah, maka masyarakat akan menjadi pengawal jalannya pemerintahan. Keduanya, masyarakat dan pemerintah bekerja melaksanakan tugas-tugasnya itu didorong oleh kekuatan rohani yang tidak ada dalam sistem kufur-kapitalisme maupun sistem yang lainnya.
Ketiga, secara historis umat umat Islam sejak Rasulullah, khulafa’ur rasyidun, dan khalifah-khalifah setelahnya telah memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan dan keilmuan yang bukti-buktinya masih dapat kita rasakan hingga kini. Faktor historis ini dapat menjadi contoh penyelenggaraan pendidikan gratis.
Keempat, pada beberapa negara Kafir Barat juga menyelenggarakan pendidikan gratis, dimana negara menanggung sepenuhnya biaya pendidikan rakyatnya. Sistem pembiayaan pendidikan di Barat ada empat jenis. Jenis pertama adalah subsidi penuh sehingga pendidikan benar-benar gratis. Contohnya di Jerman dan Austria, biaya pendidikan gratis sejak sekolah dasar hingga ke jenjang kedoktoran (PhD). Jenis kedua mirip jenis pertama, hanya biaya disediakan sampai pada jenjang pendidikan tinggi dan masanya dibatasi hingga mencapai umur tertentu atau waktu studi tertentu. Setelah itu, mahasiswa akan dikenakan bayaran jika kelulusannya tertunda. Contoh negara yang menerapkan sistem seperti ini adalah Belanda.
Jenis ketiga adalah pembiayaan pendidikan gratis hingga jenjang Sekolah Menengah. Sedangkan untuk perguruan tinggi dikenakan iuran walaupun masih disubsidi. Jenis keempat adalah pendidikan pembiayaan sendiri. Caranya bermacam-macam; ada yang melibatkan komunitas atau alumni, kerjasama dengan industri atau perbankan (kredit pendidikan), atau menjadikan pendidikan sebagai aktivitas komersial. Contoh ini banyak di Amerika, walaupun ada juga model jenis ketiga.
Jika kita benar-benar ingin merujuk kepada Barat, kenapa ‘model pembiayaan gratis’ ini tidak dijadikan ikutan? Kita malah cenderung mengambil model keempat, seperti trend pembiayaan yang dilakukan PTN berstatus BHMN. Tidak aneh jika sentra-sentra perbelanjaan berdiri di atas lahan aset PTN. Ternyata terdapat sikap ‘double standard’ di sini. Bukan maksud kita untuk melakukan perbandingan model pembiayaan ini dengan Barat. Hanya saja hal ini harusnya membuatkan kita berpikir, bahwa negara yang jelas-jelas kafir saja, adakalanya jauh lebih baik menjaga kebaikan rakyatnya. Mengapa negara yang mengaku pemerintahannya islami tidak menjaga hak-hak rakyatnya???
Jadi, mewujudkan pendidikan gratis di Indonesia sebenarnya sangatlah dimungkinkan. Yang menjadi masalah sebenarnya bukan tidak adanya potensi pembiayaan, melainkan ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola negara. Pendidikan mahal bukan disebabkan tidak adanya sumber pembiayaan, melainkan disebabkan kesalahan pemerintah yang bobrok dan korup. Pemerintah seperti ini jelas tidak ada gunanya. Karena yang dibutuhkan rakyat adalah pemerintah yang amanah, yang setia pada Islam dan umatnya. Bukan pemerintah yang tidak becus, yang hanya puas menjadi komprador asing dengan menjalankan neoliberalisme yang kafir.
Wahai kaum Muslimin! Sadarlah bahwa segala penderitaan yang dialami oleh kita adalah karena tidak diterapkannya Sistem Pemerintahan Islam di dalam kehidupan. Kita semua tahu bahwa sistem yang ada sekarang adalah sistem yang didasarkan kepada hawa nafsu, bukan berdasarkan Kitabullah dan as-Sunnah. Sistem ini yang mewujudkan para pemimpin yang melalaikan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, mengutamakan dunia dan melupakan Akhirat. Sistem yang pada hakikatnya mengabaikan hak kita, menindas dan menzalimi kita. Kita semua adalah orang-orang yang sadar tentang semua itu.
Maka, adalah menjadi tanggung jawab kita untuk berusaha mengubah semua ini dengan kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, menerapkan hukum-hukum Islam secara kaffah melalui penegakkan Daulah Khilafah Islamiyyah. Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan kita kecuali kita sendirilah yang merubahnya. [] (www.syariahpublications.com)

By: Farid Ma'ruf

Kontradiksi Pendidikan Tinggi

Oleh Veri Nurhansyah Tragistina
Pasca didengungkannya konsep BHMN pada Perguruan Tinggi (PT) di beberapa PTN, pendidikan kian dihakimi masyarakat sebagai alat diskriminasi bangsa. Kenyataanya memang demikian. Tengoklah besaran tunggakan mahasiswa UNPAD yang mencapai 15 Milyar rupiah yang penyebabnya disinyalir akibat faktor ekonomi sehingga tak mampu membayar iuran pendidikan.
Fakta ini sedikit memberikan gambaran umum kondisi mahasiswa di pelbagai PT di Indonesia. Kondisi makro-ekonomi yang kian tidak bersahabat kian merajam kalangan menengah bawah dalam mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini diperparah oleh pengurangan subsidi pemerintah pada pembiayaan pendidikan tinggi hingga birokrat kampus tak kuasa untuk menjadikan mahasiswa sebagai sumber utama pembiayaan PT.
Realitas ini kontradiktif dengan filosofis pendidikan itu sendiri. Berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial Budaya (EKOSOB) tahun 1996, hak mengenyam pendidikan adalah hak paling mendasar yang harus dienyam oleh manusia. Dalam konteks ini, negara mutlak mengusahakannya.
Realitas pendidikan tinggi yang kian diskriminatif seakan menenggelamkan asa pedagogis kaum marginal. Mereka kian sulit untuk mengenyam pendidikan tinggi di PT berkualitas. Tengoklah komposisi mahasiswa UI saat ini yang disinyalir 90 persen-nya adalah mahasiswa dari Jabodetabek yang borju. Dengan realitas yang demikian, konsep education for all seolah menjauh dari ekspektasi semula.
Kaum “Minority Negasive”
Berdasarkan rapid assessment yang dilakukan secara keroyokan oleh Depdiknas, Bappenas dan World Bank menunjukkan hasil bahwa pada tahun 2015 hanya sekitar 25 persen masyarakat kita yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi. Dari hasil ini setidaknya untuk beberapa tahun ke depan mahasiswa tetaplah kaum minoritas di negeri ini.
Sebagai minoritas, eksistensi mahasiswa justru menjadi penting dalam pergerakan bangsa ini. Tingkat intelektualitas yang tinggi dan semangat idealisme yang masih berkobar menjadi tumpuan masyarakat untuk menabuh genderang perubahan di negeri ini. Tak heran dalam beberapa penggalan sejarah, mahasiswa menjadi garda paling depan dalam melakukan revolusi rakyat. Dengan demikian, walaupun minoritas, mahasiswa kerap menegasikan diri dengan kemunafikan kaum mayoritas.
Dalam hal ini fungsi pendidikan sebagai the most powerfull things yang didengungkan Gayatri Spivak seolah mendapat pembuktian. Eksistensi mahasiswa adalah eksistensi kaum terdidik yang mampu menjadi penyeimbang kekuasaan dalam konteks kontrol sosial. Maka begitu vital peran mahasiswa dalam menjaga kuasa dari rongrongan absolutisme.
Kini, peran yang vital tersebut teancam tercerabut dari habitatnya akibat biaya perkuliahan dan beban hidup begitu hebat mendera sebagian besar mahasiswa di negeri ini. Disadari atau tidak, realitas ini kian menjauhkan mahasiswa dari fungsi sosial yang harus diembannya. Kini, mahasiswa justru banyak yang berjuang dalam aras berfikir pragmatis-individualistik demi menyelematkan hidupnya secara personal.
“Dipaksa” Menjadi Buruh
Diakui atau tidak, realitas pendidikan tinggi yang memberatkan ini membuat mahasiswa berusaha dalam ragam cara untuk menyiasatinya. Banyak yang lari untuk bekerja part-time atau berwirausaha secara mandiri. Pada satu sisi hal ini patut dibanggakan karena membuktikan kemandirian kita sebagai penggerak zaman.
Namun, pada sisi lain, realitas ini justru kerap membuat kita menjadi pragmatis. Kita menjadi tegoda hanya untuk memikirkan materi dan materi. Kuliah bahkan terbengkalai apalagi tanggungjawab kepada masyarakat. Kecenderungan seperti ini terbaca oleh Dudley Erskine Devline dari Colorado State University (1980). Dalam artikelnya berjudul “Bussiness and Education in America”, ia menyatakan bahwa mahasiswa-pekerja memiliki kecenderungan untuk terkosentrasi memikirkan uang. Parahnya, uang tersebut seringkali tidak dipakai untuk hal yang tidak semestinya, taruhlah untuk membeli kosmetik atau hura-hura.
Dengan demikian, tingginya biaya pendidikan tinggi di negeri ini setidaknya menimbulkan efek dalam 2 hal. Pertama, mengikis kesempatan kaum marginal dalam mengeyam pendidikan. Kedua, menumbuhkan sikap pragmatis-individualistik mahasiswa. Pendidikan pun kontradiktif dari tujuannya yaitu mencetak manusia yang tinggi secara intelektual dan juga memiliki kesadaran sosial yang tinggi atas nasib bangsanya.
Suatu kerugian besar jika ini terjadi kelak. Sampai para penentu kebijakan pendidikan tinggi sadar untuk melakukan reka ulang atas konsep PT beserta mekanisme pembiayaan pendidikan tinggi itu sendiri.

Pembiayaan Pendidikan Dalam Islam

16-07-2008

Assalamu’alaikum Wr Wb

Renungan Agama Islam dipersembahkan Aliansi Penulis Pro Syariah (AlPen ProSa) bersama RRI Surabaya. 18-4-08

Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada para guru, muazin, dan imam shalat jamaah. Khalifah Umar memberikan gaji tersebut dari pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur yaitu pungutan atas harta non-Muslim yang melintasi tapal batas negara.

Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV Hijriyah, para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan auditorium, asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan.

Di antara perguruan tinggi terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah an-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Madrasah Mustanshiriyah didirikan oleh Khalifah al-Mustanshir abad VI Hijriyah dengan fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan perpustakaan, lembaga ini juga dilengkapi pemandian dan rumah sakit yang dokternya siap di tempat.

Pada era Khilafah Utsmaniyah, Sultan Muhammad al-Fatih juga menyediakan pendidikan secara gratis. Di Konstantinopel (Istanbul), Sultan membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah ini dibangun asrama siswa, lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan. Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa. Dibangun pula sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap dan berilmu.

Namun, perlu dicatat, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya, khususnya mereka yang kaya, untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf

Di antara wakaf ini ada yang bersifat khusus, yakni untuk kegiatan tertentu atau orang tertentu; seperti wakaf untuk ilmuwan hadis, wakaf khusus untuk dokter, wakaf khusus untuk riset obat-obatan, wakaf khusus untuk guru anak-anak, wakaf khusus untuk pendalaman fikih dan ilmu-ilmu al-Quran. Bahkan sejarah mencatat ada wakaf khusus untuk Syaikh Al-Azhar atau fasilitas kendaraannya. Selain itu, wakaf juga diberikan dalam bentuk asrama pelajar dan mahasiswa, alat-alat tulis, buku pegangan, termasuk beasiswa dan biaya pendidikan.

Dengan Islam rakyat akan memperoleh pendidikan formal yang gratis dari negara. Adapun melalui inisiatif wakaf dari anggota masyarakat yang kaya, rakyat akan memperoleh pendidikan non-formal yang juga gratis atau murah bagi rakyat.

Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan Negara Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari Negara (Baitul Mal). Dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan) berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur.

Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai’ dan kharaj—yang merupakan kepemilikan negara—seperti ghanîmah, khumuûs (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharîbah (pajak); (2) pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Adapun pendapatan dari pos zakat tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat.

Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka Negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Utang ini kemudian dilunasi oleh Negara dengan dana dari dharîbah (pajak) yang dipungut dari kaum Muslim.

Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama: untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua: untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya.

Penyelenggaraan pendidikan masa sekarang, sudah selayaknya berkaca pada masa pemerintahan Islam.

Wassalamu’alaikum wr wb

Sumber: http://alpenprosa.files.wordpress.com/2008/12/rokok-pocong

Contoh Ice Break dalam Bentuk Tayangan Multimedia

Diterbitkan 8 Juli 2008 kurikulum dan pembelajaran
Tags: artikel, berita, KTSP, kurikulum, makalah, metode, opini, pembelajaran, pendidikan, strategi, umum

Pada saat mengikuti kegiatan pelatihan atau pembelajaran kadang-kadang peserta pelatihan merasa jenuh dengan penyajian yang disampaikan oleh fasilitator/guru. Di sinilah, seorang fasilitator (guru) harus dapat menyiasati keadaan agar suasana pelatihan/pembelajaran dapat cair.

Jika Anda menyajikan materi dilakukan dengan bantuan multimedia (komputer dan in focus), Anda dapat memanfaatkan materi tayangan dalam tautan di bawah ini untuk menyegarkan kembali suasana pelatihan/pembelajaran atau untuk kepentingan refleksi bagi para peserta pelatihan/pembelajaran.

Materi-materi ini, penulis peroleh dari berbagai pelatihan dan mohon maaf kepada para pemiliknya atas keberanian penulis untuk menyebarluaskan karyanya melalui situs pribadi ini, tidak ada maksud lain kecuali semata-mata hanya untuk kepentingan kemajuan pendidikan.

Sumber: http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/08/contoh-ice-break-dalam-bentuk-tayangan-multimedia/

Sumber-Sumber yang Mempengaruhi Teknologi Pembelajaran

Diterbitkan 26 September 2008 kurikulum dan pembelajaran
Tags: artikel, berita, KTSP, kurikulum, pembelajaran, pendidikan

Teknologi pembelajaran dapat dilihat sebagai bidang yang mempunyai perhatian khusus terhadap aplikasi, meskipun prinsip dan prosedurnya berdasar pada teori. Kawasan bidang ini telah melalui pergulatan antara pengaruh nilai, penelitian,dan pengalaman praktisi, khususnya pengalaman dengan teknologi yang digunakan dalam pembelajaran. Bidang ini kemudian berkembang tidak hanya berupa pengetahuan teoritik tetapi juga pengetahuan praktis.

Setiap kawasan dibentuk oleh : (1) landasan penelitian dan teori; (2) nilai dan perspektif yang berlaku; (3) kemampuan teknologi itu sendiri.

1. Pengaruh Teori dan Penelitian

Teknologi Pembelajaran telah dipengaruhi oleh teori dari berbagai bidang kajian. Akar teori ini dapat ditemui dalam berbagai disiplin, termasuk : psikologi, rekayasa, komunikasi, ilmu komputer, bisnis, dan pendidikan secara umum.

Secara singkat, pengaruh teori dan penelitian terhadap masing-masing kawasan dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Desain

Teori sistem umum diterapkan melalui aplikasi model-model perancangan sistem pembelajaran, terutama dengan didukung logika deduktif, penilaian praktek dan pengalaman yang sukses. Hasil-hasil penelitian yang ada tentang desain sistematik dapat mendukung terhadap komponen-komponen proses perancangan.

Penelitian dan teori psikologi yang berkembang pun telah memberikan kontribusi terhadap perancangan, baik yang dikembangkan oleh kelompok aliran psikologi behaviorisme, maupun kognitivisme dan konstruktivisme. Selain itu, sumbangsih teori dan penelitian psikologi tentang motivasi juga berpengaruh terhadap proses perancangan.

Teori dan penelitian tentang Belajar-Mengajar memiliki pengaruh terhadap desain, baik dalam penentuan tugas-tugas belajar, penentuan tujuan pembelajaran, pemilihan metode dan media pembelajaran, penentuan materi pembelajaran dan sebagainya.

Teori komunikasi dan penelitian tentang pesepsi-atensi telah memberikan pengaruh terhadap proses perancangan, seperti dalam tata letak, halaman, desain layar, desain grafis visual. Studi yang dilakukan Flemming (1987) menyimpulkan tentang karakteristik-karakteristik persepsi yang relevan untuk perancangan, meliputi : pengorganisasian, perbandingan dan kontras, warna kemiripan, nilai dan informasi yang disajikan.

b. Pengembangan

Proses pengembangan bergantung pada prosedur desain, akan tetapi prinsip-prinsip utamanya diturunkan dari hakekat komunikasi dan proses belajar. Pada kawasan pengembangan tidak hanya dipengaruhi oleh teori komunikasi semata, tetapi juga oleh teori pemrosesan visual-audial, berfikir visual, dan estetika.

Teori Shannon dan Weaver (1949) tentang proses penyampaian pesan dari pengirim kepada penerima dengan menggunakan sarana sensorik. Berikutnya, pemikiran Belo tentang Model SMCR (Sender, Massage, Channel, Receiver), dan beberapa teori lainnya dalam bidang komunikasi secara umum telah menjadi landasan dalam proses pengembangan.

Proses pengembangan juga telah dipengaruhi oleh teori berfikir visual, belajar visual dan komunikasi visual. Teori berfikir visual sangat berguna terutama dalam mencari ide untuk perlakuan berfikir visual. Menurut Seels (1993) bahwa berfikir visual merupakan manipulasi bayangan mental dan asosiasi sensor dan emosi. Arnhem (1972) menjelaskan berfikir visual sebagai fikiran kiasan dan di bawah sadar. Berfikir visual menuntut kemampuan mengorganisasi bayangan sekitar unsur-unsur garis, bentuk, warna, tekstur, atau komposisi..

Sementara itu, prinsip-prinsip estetika juga menjadi landasan dalam proses pengembangan. Molenda dan Russel (1993) mengidentifikasi unsur kunci seni yang digunakan dalam perancangan visual, yaitu : pengaturan, keseimbangan dan kesatuan.

Teori dan penelitian dalam bidang komputer yang dikombinasikan dengan teori-teori lainnya, khususnya dengan teori pembelajaran telah memungkinkan lahirnya berbagai bentuk pembelajaran, seperti pembelajaran jarak jauh yang di dalamnya memerlukan prinsip-prinsip komunikasi umum, prinsip-prinsip desain grafis, prinsip-prinsip belajar interaktif dan teknologi elektronik yang canggih.

c. Pemanfaatan

Pada mulanya gagasan tentang pemanfaatan media lebih berkonotasi pada aspek-aspek penggunaan, sehingga teori dan penelitian lebih dipusatkan pada hal-hal yang berkenaan dengan pemanfaatan media, terutama mengkaji tentang masalah-masalah seputar penggunaan media secara optimal, kemudian berkembang dengan mencakup pada upaya difusi, karena bagaimana pun disadari bahwa pemanfaatan teknologi sangat bergantung pada proses difusi. Rogers (1962) mengeksplorasi tentang gejala difusi inovasi. Menurut Rogers, terdapat empat elemen utama yang beroperasi dalam proses difusi, yaitu : (1) bentuk atau karakter inovasi itu sendiri, (2) saluran komunikasi yang ada, (3) waktu, dan (4) sistem sosial yang berlaku. Studi Havelock (1971) tentang model pengembangan dan penyebaran dan interaksi sosial, lebih menekankan pada usaha-usaha menghubungkan para pemakai dengan sumber pengetahuan baru. Studi Lazarfield (1944) mengungkapkan tentang informasi yang sampai kepada para tokoh yang berpengaruh (opnion leaders), yang pada awalnya berupa transfer informasi sederhana, kemudian informasi itu diteruskan kepada para pengikutnya.

Dari berbagai pengalaman kegagalan inovasi teknologi pada skala besar, telah mendorong perlunya perencanaan dan perubahan keorganisasian, administratif dan individu (Cuban, 1986). Sekarang ini muncul perkembangan pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara organisasi beradaptasi dengan tantangan masyarakat modern, dengan segala sistem pemasaran yang baru, teknologi baru dan tuntutan perubahan yang terus menerus, sehingga pada akhirnya menggiring pemanfaatan sebagai implementasi dan institusionalisasi.

d. Pengelolaan

Persoalan-persoalan pengelolaan dalam bidang Teknologi Pembelajaran muncul akibat pengaruh aliran perilaku dan berfikir sistematik behaviorisme serta aspek humanisme dalam komunikasi, motivasi, dan produktivitas. Metodologi dan teori pengelolaan telah banyak diaplikasikan pada berbagai bidang pengelolaan sumber dan proyek, termasuk pengelolaan perubahan. Sebagian besar prinsip-prinsip pengelolaan berasal dari manajemen/administrasi bisnis, seperti dalam pengelolaan proyek, pengelolaan sumber dan efektivitas pembiayaan.

Pengelolaan proyek sebagai suatu konsep, pada awalnya diperkenalkan sebagai “cara yang efisien dan efektif dalam menghimpun suatu tim, dimana pengetahuan dan keahlian anggotanya sesuai dengan siatuasi unik dan tuntutan teknis jangka pendek yang ditentukan oleh pemberi kerja”(Rothwell dan Kazanas, 1992).

Pengelolaan sumber telah lama menjadi masalah utama bagi guru dan petugas perpustakaan media karena keduanya diharapkan sebagai manajer sumber belajar. Sekarang ini konsep sumber lebih mengacu pada pengertian sumber belajar yang lebih luas dan bukan sekedar diartikan sebagai sarana audio-visual, melainkan mencakup pula barang cetak, lingkungan dan nara sumber (Eraut, 1989)

Akhir-akhir ini mulai tumbuh perhatian mengenai efektivitas pembiayaan, sehingga kerangka teori ekonomi pun mulai digunakan dalam teknologi pembelajaran, seperti penggunaan teori ekonomi pengelolaan sumber yang dikembangkan oleh Henderson dan Quandt (1980).

Kelanjutan dari pengelolaan sumber ini adalan pengelolaan sistem penyampaian, yang berkaitan dengan sarana, seperti perangkat lunak dan keras, dukungan teknis untuk operator dan pemakai, serta karakteristik lain tentang pengoperasian sistem teknologi. Ini merupakan era baru praktek mendahului analisis teoritik tentang model.

Komponen terakhir dari masalah pengelolaan adalah pengelolaan informasi. Teori informasi melahirkan suatu landasan yang dapat digunakan untuk memahami dan memprogram komputer. Hal ini berhubungan dengan perancangan dan penggunaan jaringan komputer untuk tranmisi, penerimaan dan penyimpanan informasi. Penerapan teori informasi ini jangkauannya semakin luas, dengan mencakup berbagai bidang kehidupan.

e. Penilaian

Analisis, asesmen dan penilaian memainkan peranan penting dalam proses desain pembelajaran dan teknologi pembelajaran. Pada awalnya, penilaian sering dihubungkan dengan orientasi behavioristik. Tumbuhnya desain pembelajaran yang beorientasi pada tujuan (tercapainya perubahan perilaku), sehingga memunculkan pengujian dengan menggunakan acuan patokan. Hal ini terjadi pula dalam analisis kebutuhan atau analisis masalah.

Dengan masuknya pandangan kognitivisme dan konstruktivisme dalam desain pembelajaran, telah membawa implikasi terhadap proses analisis kebutuhan dengan cakupan yang lebih luas, yang tidak hanya berfokus pada isi semata, tetapi juga memberikan perhatian pada analisis pembelajar, analisis organisasi dan analisis lingkungan (Richey, 1992; Tessmer dan Harris, 1992). Penilaian dengan paradigma kognitif lebih banyak diorientasikan untuk kepentingan fungsi diagnostik.

2. Nilai dan Perspektif Alternatif

Pada umumya nilai-nilai yang ada akan berfungsi sebagai landasan berfikir dan berbuat. Nilai-nilai ini mungkin berasal dari pelatihan dan pengalaman kerja yang sama, pembudayaan dari teori-teori atau karakteristik pribadi orang yang tertarik terhadap Teknologi Pembelajaran . Secara khusus, nilai-nilai yang mempengaruhi terhadap perkembangan Teknologi Pembelajaran, yaitu : (a) replikabilitas pembelajaran; (b) individualisasi; (c) efisiensi; (d) penggeneralisasian proses isi lintas; (e) perencanaan terinci; (f) analisis dan spesifikasi; (g) kekuatan visual; (h) pemanfaatan pembelajaran bermedia.

Konsep paradigma alternatif dalam menemukan pengetahuan baru-baru ini telah menjadi fokus utama dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam perpektif ilmiah, paradigma alternatif ini memiliki kecenderungan untuk menerima metodologi penelitian kualitatif, penelitian fenomenologis dan gerakan ke arah psikologi kontruktivis. Teknologi pembelajaran juga merasakan pengaruh ini, sebagai contoh Striebel (1991) mengemukakan pendapatnya bahwa komputer bukanlah hanya sekedar bentuk sistem penyampaian, tetapi sebagai suatu lingkungan yang memiliki nilai-nilai tertentu dengan segala kecenderungannya. Bowers (1988) juga memberikan suatu tantangan yang meragukan bahwa teknologi betul-betul bersifat netral dan dapat dibentuk untuk memenuhi segala tujuan yang diinginkan.

Gerakan psikologi konstruktivisme telah mempengaruhi terhadap Teknologi Pembelajaran. Menurut pandangan konstruktivisme bahwa disamping adanya relaitas fisik, namun pengetahuan kita tentang realitas dibangun dari hasil penafsiran pengalaman. Makna atas sesuatu tidak akan terlepas dari orang yang memahaminya. Belajar merupakan suatu rangkaian proses interpretasi berdasarkan pengalaman yang telah ada, interpretasi tersebut kemudian dicocokan pengalaman-pengalaman baru.

Konstruktivisme cenderung mempersoalkan perancangan lingkungan belajar daripada pentahapan kegiatan pembelajaran. Lingkungan belajar ini merupakan konsteks yang kaya, baik berupa landasan pengetahuan, masalah yang otentik, dan perangkat otentik yang digunakan untuk memecahkan masalah. Nampaknya, ada semacam keengganan terhadap adanya perumusan pengetahuan secara rinci yang harus dikuasai, dan kengganan terhadap simplikasi atau regulasi isi, karena semua proses itu akan meniadakan arti penting konteks yang kaya yang memungkinkan terjadinya transfer.

Perspektif alternatif lain yang mempengaruhi teknologi pembelajaran adalah dari kelompok yang memandang penting atas keunggulan belajar situasional (situated learning). Belajar situasional terjadi bilamana siswa mengerjakan “tugas otentik” dan berlangsung di latar dunia nyata. Belajar semacam ini tidak akan terjadi bilamana pengetahuan dan keterampilan tidak diajarkan secara kontekstual”. Bila orang menekankan pada belajar situasional, maka logika kelanjutannya adalah memahami belajar sebagai suatu proses yang aktif, berkesinambungan dan dinilai lebih pada aplikasi daripada sekedar perolehan.

Gerakan teknologi kinerja yang lebih berbasis terapan (Geis, 1986) juga mengajukan perspektif alternatif lain dalam Teknologi Pembelajaran. Para teknololog kinerja cenderung mengidentifikasi kebutuhan bisnis dan tujuan organisasinya daripada tujuan belajar. Teknologi kinerja sebagai suatu pendekatan pemecahan masalah adalah suatu produk dari berbagai pengaruh teori seperti cybernetic, ilmu menajemen, dan ilmu kognitif (Geis, 1986).

Para teknolog kinerja tidak selalu merancang intervensi pembelajaran sebagai suatu solusi dalam memecahkan masalah. Teknolog kinerja akan cenderung memperhatikan peningkatan insentif, desain pekerjaan, pemilihan personil, umpan balik atau alokasi sumber sebagai intervensi.

Filsafat alternatif pun turut mewarnai terhadap perkembangan teknologi pembelajaran. Filsafat alternatif ini berkembang dari kelompok post-modernis (pasca-modern), yang telah melakukan analisis kritis terhadap berbagai landasan keyakinan tradisional dan nilai-nilai dalam bidang Teknologi Pembelajaran. Dalam perspektif post-modern, bahwa teknologi pembelajaran sebagai suatu kiat sekaligus sebagai ilmu. Hlynka (1991) menjelaskan bahwa post-modern adalah suatu cara berfikir yang menjunjung prinsip keanekaragaman, temporal dan kompleks, dari pada bersifat universal, stabil dan sederhana.

Banyak implikasi filsafat post-modern untuk praktek dan teori desain sekarang ini, terutama tentang orientasi pemikiran yang menggunakan paradigma desain baru, dan tidak bersandarkan pada model desain yang sistematis. Filsafat post-modern lebih menyenangi pada hal-hal yang bersifat terbuka dan fleksibel, dari pada hal-hal yang tertutup, terstruktur dan kaku (Hlynka, 1991)

3. Pengaruh Teknologi
Kekuatan teknologi pembelajaran memang terletak pada teknologi itu sendiri. Kemajuan dalam teknologi akan banyak merubah hakekat praktek dalam bidang teknologi pembelajaran. Teknologi telah memberikan prospek munculnya stimulus yang realistik, memberikan akses terhadap sejumlah besar informasi dalam waktu yang cepat, menghubungkan informasi dan media dengan cepat, dan dapat menghilangkan jarak antara pengajar dan pembelajar (Hannfin, 1992). Perancang yang terampil dan kreatif dapat menghasilkan produk pembelajaran yang dapat memberikan keunggulan dalam : (a) mengintegrasikan media; (b) menyelenggarakan pengemdalian atas pembelajar yang jumlahnya hampir tidak terbatas, dan bahkan (c) mendesain kembali untuk kemudian disesuaikan kebutuhan, latar belakang dan lingkungan kerja setiap individu.

Teknologi, disamping mampu menyediakan berbagai kemungkinan tersedianya media pembelajaran yang lebih bervariasi, juga dapat mempengaruhi praktek di lapangan dengan digunakannya sarana berbasis komputer untuk menunjang tugas perancangan.

Sumber:
Barbara B. Seels dan Rita C. Richey.1995. Teknologi Pembelajaran: Definisi dan Kawasannya, (terjemahan Dewi S. Prawiradilaga, dkk)

Teknologi Pembelajaran

Diterbitkan 20 April 2008 kurikulum dan pembelajaran
Tags: artikel, berita, KTSP, kurikulum, makalah, metode, opini, pembelajaran, pendidikan, strategi, umum

Latar Belakang Sejarah dan Teknologi Pembelajaran

Teknologi Pembelajaran tumbuh dari praktek pendidikan dan gerakan komunikasi audio visual. Teknologi Pembelajaran semula dilihat sebagai teknologi peralatan, yang berkaitan dengan penggunaan peralatan, media dan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan atau dengan kata lain mengajar dengan alat bantu audio-visual. Teknologi Pembelajaran merupakan gabungan dari tiga aliran yang saling berkepentingan, yaitu media dalam pendidikan, psikologi pembelajaran dan pendekatan sistem dalam pendidikan.

Adalah Edgar Dale dan James Finn merupakan dua tokoh yang berjasa dalam pengembangan Teknologi Pembelajaran modern. Edgar Dale mengemukakan tentang Kerucut Pengalaman (Cone of Experience) sebagaimana tampak dalam gambar 1 berikut ini :

Kerucut Dale
Gambar 1. Kerucut Pengalaman Dale

Dari gambar tersebut dapat kita lihat rentangan tingkat pengalaman dari yang bersifat langsung hingga ke pengalaman melalui simbol-simbol komunikasi, yang merentang dari yang bersifat kongkrit ke abstrak, dan tentunya memberikan implikasi tertentu terhadap pemilihan metode dan bahan pembelajaran, khususnya dalam pengembangan Teknologi Pembelajaran

Pemikiran Edgar Dale tentang Kerucut Pengalaman (Cone of Experience) ini merupakan upaya awal untuk memberikan alasan atau dasar tentang keterkaitan antara teori belajar dengan komunikasi audiovisual. Kerucut Pengalaman Dale telah menyatukan teori pendidikan John Dewey (salah satu tokoh aliran progresivisme) dengan gagasan – gagasan dalam bidang psikologi yang tengah populer pada masa itu.

Sedangkan, James Finn seorang mahasiswa tingkat doktoral dari Edgar Dale berjasa dalam mengusulkan bidang komunikasi audio-visual menjadi Teknologi Pembelajaran yang kemudian berkembang hingga saat ini menjadi suatu profesi tersendiri, dengan didukung oleh penelitian, teori dan teknik tersendiri. Gagasan Finn mengenai terintegrasinya sistem dan proses mampu mencakup dan memperluas gagasan Edgar Dale tentang keterkaitan antara bahan dengan proses pembelajaran..

Definisi Teknologi Pembelajaran

Rumusan tentang pengertian Teknologi Pembelajaran telah mengalami beberapa perubahan, sejalan dengan sejarah dan perkembangan dari teknologi pembelajaran itu sendiri. Di bawah ini dikemukakan beberapa definisi tentang Teknologi Pembelajaran yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan Teknologi Pembelajaran.

Definisi Association for Educational Communications Technology (AECT) 1963

“ Komunikasi audio-visual adalah cabang dari teori dan praktek pendidikan yang terutama berkepentingan dengan mendesain, dan menggunakan pesan guna mengendalikan proses belajar, mencakup kegiatan : (a) mempelajari kelemahan dan kelebihan suatu pesan dalam proses belajar; (b) penstrukturan dan sistematisasi oleh orang maupun instrumen dalam lingkungan pendidikan, meliputi : perencanaan, produksi, pemilihan, manajemen dan pemanfaatan dari komponen maupun keseluruhan sistem pembelajaran. Tujuan praktisnya adalah pemanfaatan tiap metode dan medium komunikasi secara efektif untuk membantu pengembangan potensi pembelajar secara maksimal.”

Meski masih menggunakan istilah komunikasi audio-visual, definisi di atas telah menghasilkan kerangka dasar bagi pengembangan Teknologi Pembelajaran berikutnya serta dapat mendorong terjadinya peningkatan pembelajaran.

Definisi Commission on Instruction Technology (CIT) 1970

“Dalam pengertian yang lebih umum, teknologi pembelajaran diartikan sebagai media yang lahir sebagai akibat revolusi komunikasi yang dapat digunakan untuk keperluan pembelajaran di samping guru, buku teks, dan papan tulis…..bagian yang membentuk teknologi pembelajaran adalah televisi, film, OHP, komputer dan bagian perangkat keras maupun lunak lainnya.”

“Teknologi Pembelajaran merupakan usaha sistematik dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi keseluruhan proses belajar untuk suatu tujuan khusus, serta didasarkan pada penelitian tentang proses belajar dan komunikasi pada manusia yang menggunakan kombinasi sumber manusia dan manusia agar belajar dapat berlangsung efektif.”

Dengan mencantumkan istilah tujuan khusus, tampaknya rumusan tersebut berusaha mengakomodir pengaruh pemikiran B.F. Skinner (salah seorang tokoh Psikologi Behaviorisme) dalam teknologi pembelajaran. Begitu juga, rumusan tersebut memandang pentingnya penelitian tentang metode dan teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan khusus.

Definisi Silber 1970

“Teknologi Pembelajaran adalah pengembangan (riset, desain, produksi, evaluasi, dukungan-pasokan, pemanfaatan) komponen sistem pembelajaran (pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan latar) serta pengelolaan usaha pengembangan (organisasi dan personal) secara sistematik, dengan tujuan untuk memecahkan masalah belajar”.

Definisi yang dikemukakan oleh Kenneth Silber di atas menyebutkan istilah pengembangan. Pada definisi sebelumnya yang dimaksud dengan pengembangan lebih diartikan pada pengembangan potensi manusia. Dalam definisi Silber, penggunaan istilah pengembangan memuat dua pengertian, disamping berkaitan dengan pengembangan potensi manusia juga diartikan pula sebagai pengembangan dari Teknologi Pembelajaran itu sendiri, yang mencakup : perancangan, produksi, penggunaan dan penilaian teknologi untuk pembelajaran.

Definisi MacKenzie dan Eraut 1971

“Teknologi Pendidikan merupakan studi sistematik mengenai cara bagaimana tujuan pendidikan dapat dicapai”

Definisi sebelumnya meliputi istilah, “mesin”, instrumen” atau “media”, sedangkan dalam definisi MacKenzie dan Eraut ini tidak menyebutkan perangkat lunak maupun perangkat keras, tetapi lebih berorientasi pada proses.

Definisi AECT 1972

Pada tahun 1972, AECT berupaya merevisi defisini yang sudah ada (1963, 1970, 1971), dengan memberikan rumusan sebagai berikut :

“Teknologi Pendidikan adalah suatu bidang yang berkepentingan dengan memfasilitasi belajar pada manusia melalui usaha sistematik dalam : identifikasi, pengembangan, pengorganisasian dan pemanfaatan berbagai macam sumber belajar serta dengan pengelolaan atas keseluruhan proses tersebut”.

Definisi ini didasari semangat untuk menetapkan komunikasi audio-visual sebagai suatu bidang studi. Ketentuan ini mengembangkan gagasan bahwa teknologi pendidikan merupakan suatu profesi.

Definisi AECT 1977

“Teknologi pendidikan adalah proses kompleks yang terintegrasi meliputi orang, prosedur, gagasan, sarana, dan organisasi untuk menganalisis masalah, merancang, melaksanakan, menilai dan mengelola pemecahan masalah dalam segala aspek belajar pada manusia.

Definisi tahun 1977, AECT berusaha mengidentifikasi sebagai suatu teori, bidang dan profesi. Definisi sebelumnya, kecuali pada tahun 1963, tidak menekankan teknologi pendidikan sebagai suatu teori.

Definisi AECT 1994

“ Teknologi Pembelajaran adalah teori dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta evaluasi tentang proses dan sumber untuk belajar.”

Meski dirumuskan dalam kalimat yang lebih sederhana, definisi ini sesungguhnya mengandung makna yang dalam. Definisi ini berupaya semakin memperkokoh teknologi pembelajaran sebagai suatu bidang dan profesi, yang tentunya perlu didukung oleh landasan teori dan praktek yang kokoh. Definisi ini juga berusaha menyempurnakan wilayah atau kawasan bidang kegiatan dari teknologi pembelajaran. Di samping itu, definisi ini berusaha menekankan pentingnya proses dan produk.

Jika kita amati isi kandungan definisi-definisi teknologi pembelajaran di atas, tampaknya dari waktu ke waktu teknologi pemebelajaran mengalami proses “metamorfosa” menuju penyempurnaan. Yang semula hanya dipandang sebagai alat ke sistem yang lebih luas, dari hanya berorientasi pada praktek menuju ke teori dan praktek, dari produk menuju ke proses dan produk, dan akhirnya melalui perjalanan evolusionernya saat ini teknologi pembelajaran telah menjadi sebuah bidang dan profesi.

Sejalan dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat, khususnya dalam bidang pendidikan, psikologi dan komunikasi maka tidak mustahil ke depannya teknologi pembelajaran akan semakin terus berkembang dan memperkokoh diri menjadi suatu disiplin ilmu dan profesi yang dapat lebih jauh memberikan manfaat bagi pencapaian efektivitas dan efisiensi pembelajaran.

Kendati demikian, harus diakui bahwa perkembangan bidang dan profesi teknologi pembelajaran di Indonesia hingga saat ini masih boleh dikatakan belum optimal, baik dalam hal design, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, maupun evaluasinya. Kiranya masih dibutuhkan usaha perjuangan yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang terkait dengan teknologi pembelajaran, baik dari kalangan akademisi, peneliti maupun praktisi.

Kawasan Teknologi Pembelajaran

Definisi 1994, dirumuskan berlandaskan lima bidang garapan dari Teknologi Pembelajaran, yaitu : Desain, Pengembangan, Pemanfaatan, Pengelolaan dan Penilaian. Kelima hal ini merupakan kawasan (domain) dari bidang Teknologi Pembelajaran. Di bawah ini akan diuraikan kelima kawasan tersebut, dengan sub kategori dan konsep yang terkait :

1. Kawasan Desain

Yang dimaksud dengan desain disini adalah proses untuk menentukan kondisi belajar dengan tujuan untuk menciptakan strategi dan produk. Kawasan desain bermula dari gerakan psikologi pembelajaran, terutama diilhami dari pemikiran B.F. Skinner (1954) tentang teori pembelajaran berprogram (programmed instructions). Selanjutnya, pada tahun 1969 dari pemikiran Herbert Simon yang membahas tentang preskriptif tentang desain turut memicu kajian tentang desain. Pendirian pusat-pusat desain bahan pembelajaran dan terprogram, seperti “Learning Resource and Development Center” pada tahun 1960 semakin memperkuat kajian tentang desain. Dalam kurun waktu tahun 1960-an dan 1970-an, Robert Glaser, selaku Direktur dari Learning Resource and Development Center tersebut menulis dan berbicara tentang desain pembelajaran sebagai inti dari Teknologi Pendidikan.

Aplikasi teori sistem dalam pembelajaran melengkapi dasar psikologi pembelajaran tersebut. Melalui James Finn dan Leonard Silvern, pendekatan sistem pembelajaran secara bertahap mulai berkembang menjadi suatu metodologi dan mulai memasukkan gagasan dari psikologi pembelajaran.

Perhatian terhadap desain pesan pun berkembang selama akhir 1960-an dan pada awal 1970-an. Kolaborasi Robert Gagne dengan Leslie Briggs telah menggabungkan keahlian psikologi pembelajaran dengan bakat dalam desain sistem yang membuat konsep desain pembelajaran menjadi semakin hidup.

Kawasan Desain paling tidak meliputi empat cakupan utama dari teori dan praktek, yaitu : (1) Desain Sistem Pembelajaran; (2) Desain Pesan; (3) Strategi Pembelajaran; (4) Karakteristik Pembelajar.

Desain Sistem Pembelajaran; yaitu prosedur yang terorganisasi, meliputi : langkah-langkah : (a) penganalisaan (proses perumusan apa yang akan dipelajari); (b) perancangan (proses penjabaran bagaimana cara mempelajarinya); (c) pengembangan (proses penulisan dan pembuatan atau produksi bahan-bahan pelajaran); (d) pelaksanaan/aplikasi (pemanfaatan bahan dan strategi) dan (e) penilaian (proses penentuan ketepatan pembelajaran).

Desain Sistem Pembelajaran biasanya merupakan prosedur linier dan interaktif yang menuntut kecermatan dan kemantapan. Agar dapat berfungsi sebagai alat untuk saling mengontrol, semua langkah –langkah tersebut harus tuntas. Dalam Desain Sistem Pembelajaran, proses sama pentingnya dengan produk, sebab kepercayaan atas produk berlandaskan pada proses.

Desain Pesan; yaitu perencanaan untuk merekayasa bentuk fisik dari pesan agar terjadi komunikasi antara pengirim dan penerima, dengan memperhatikan prinsip-prinsip perhatian, persepsi,dan daya tangkap. Fleming dan Levie membatasi pesan pada pola-pola isyarat, atau simbol yang dapat memodifikasi perilaku kognitif, afektif dan psikomotor. Desain pesan berkaitan dengan hal-hal mikro, seperti : bahan visual, urutan, halaman dan layar secara terpisah. Desain harus bersifat spesifik, baik tentang media maupun tugas belajarnya. Hal ini mengandung makna bahwa prinsip-prinsip desain pesan akan berbeda, bergantung pada jenis medianya, apakah bersifat statis, dinamis atau kombinasi keduanya (misalnya, suatu potret, film, atau grafik komputer). Juga apakah tugas belajarnya tentang pembentukan konsep, pengembangan sikap, pengembangan keterampilan, strategi belajar atau hafalan.

Strategi Pembelajaran; yaitu spesifikasi untuk menyeleksi serta mengurutkan peristiwa belajar atau kegiatan belajar dalam suatu pelajaran. Teori tentang strategi pembelajaran meliputi situasi belajar dan komponen belajar/mengajar. Seorang desainer menggunakan teori atau komponen strategi pembelajaran sebagai prinsip teknologi pembelajaran. Dalam mengaplikasikan suatu strategi pembelajaran bergantung pada situasi belajar, sifat materi dan jenis belajar yang dikehendaki.

Karakteristik Pembelajar, yaitu segi-segi latar belakang pengalaman pembelajar yang mempengaruhi terhadap efektivitas proses belajarnya. Karaketeristik pembelajar mencakup keadaan sosio-psiko-fisik pembelajar. Secara psikologis, yang perlu mendapat perhatian dari karakteristik pembelajar yaitu berkaitan dengan dengan kemampuannya (ability), baik yang bersifat potensial maupun kecakapan nyata — dan kepribadiannya, seperti, sikap, emosi, motivasi serta aspek-aspek kepribadian lainnya.

2. Kawasan Pengembangan

Pengembangan adalah proses penterjemahan spesifikasi desain ke dalam bentuk fisik, di dalamnya meliputi : (1) teknologi cetak; (2) teknologi audio-visual; (3) teknologi berbasis komputer; dan (4) teknologi terpadu.

Kawasan pengembangan berakar pada produksi media. Melalui proses yang bertahun-tahun perubahan dalam kemampuan media ini berakibat pada perubahan kawasan. Walaupun perkembangan buku teks dan alat bantu pembelajaran yang lain (teknologi cetak) mendahului film, namun pemunculan film merupakan tonggak sejarah dari gerakan audio-visual ke era Teknologi Pembelajaran sekarang ini. Pada 1930-an film mulai digunakan untuk kegiatan pembelajaran (teknologi audio-visual). Selama Perang Dunia II, banyak jenis bahan yang diproduksi terutama film untuk pelatihan militer. Setelah perang, televisi sebagai media baru digunakan untuk kepentingan pendidikan (teknologi audio-visual). Selama akhir tahun 1950- an dan awal tahun 1960-an bahan pembelajaran berprograma mulai digunakan untuk pembelajaran. Sekitar tahun 1970-an komputer mulai digunakan untuk pembelajaran, dan permainan simulasi menjadi mode di sekolah. Selama tahun 1098-an teori dan praktek di bidang pembelajaran yang berlandaskan komputer berkembang seperti jamur dan sekitar tahun 1990-an multimedia terpadu yang berlandaskan komputer merupakan dari kawasan ini.

Di dalam kawasan pengembangan terdapat keterkaitan yang kompleks antara teknologi dan teori yang mendorong terhadap desain pesan maupun strategi pembelajarannya . Pada dasarnya kawasan pengembangan terjadi karena : (1) pesan yang didorong oleh isi; (2) strategi pembelajaran yang didorong oleh teori; dan (3) mManifestasi fisik dari teknologi – perangkat keras, perangkat lunak, dan bahan pembelajaran

Teknologi Cetak; adalah cara untuk memproduksi atau menyampaikan bahan, seperti : buku-buku, bahan-bahan visual yang statis, terutama melalui pencetakan mekanis atau photografis. Teknologi ini menjadi dasar untuk pengembangan dan pemanfaatan dari kebanyakan bahan pembelajaran lain. Hasil teknologi ini berupa cetakan. Teks dalam penampilan komputer adalah suatu contoh penggunaan teknologi komputer untuk produksi. Apabila teks tersebut dicetak dalam bentuk “cetakan” guna keperluan pembelajaran merupakan contoh penyampaian dalam bentuk teknologi cetak.

Dua komponen teknologi ini adalah bahan teks verbal dan visual. Pengembangan kedua jenis bahan pembelajaran tersebut sangat bergantung pada teori persepsi visual, teori membaca, pengolahan informasi oleh manusia dan teori belajar.

Secara khusus, teknologi cetak/visual mempunyai karakteristik sebagai berikut : (1) teks dibaca secara linier, sedangkan visual direkam menurut ruang; (2) keduanya biasanya memberikan komunikasi satu arah yang pasif; (3) keduanya berbentuk visual yang statis; (4) pengembangannya sangat bergantung kepada prinsip-prinsip linguistik dan persepsi visual; (5) keduanya berpusat pada pembelajar; dan (6) informasi dapat diorganisasikan dan distrukturkan kembali oleh pemakai.

Teknologi Audio-Visual; merupakan cara memproduksi dan menyampaikan bahan dengan menggunakan peralatan dan elektronis untuk menyajikan pesan-pesan audio dan visual. Pembelajaran audio-visual dapat dikenal dengan mudah karena menggunakan perangkat keras di dalam proses pengajaran. Peralatan audio-visual memungkinkan pemroyeksian gambar hidup, pemutaran kembali suara, dan penayangan visual yang beukuran besar. Pembelajaran audio-visual didefinisikan sebagai produksi dan pemanfaatan bahan yang berkaitan dengan pembelajaran melalui penglihatan dan pendengaran yang secara eksklusif tidak selalu harus bergantung kepada pemahaman kata-kata dan simbol-simbol sejenis.

Secara khusus, teknologi audio-visual cenderung mempunyai karakteristik sebagai berikut : (1) bersifat linier; (2) menampilkan visual yang dinamis; (3) secara khas digunakan menurut cara yang sebelumnya telah ditentukan oleh desainer/pengembang; (3) cenderung merupakan bentuk representasi fisik dari gagasan yang riil dan abstrak: (4) dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip psikologi tingkah laku dan kognitif; (5) sering berpusat pada guru, kurang memperhatikan interaktivitas belajar si pembelajar.

Teknologi Berbasis Komputer; merupakan cara-cara memproduksi dan menyampaikan bahan dengan menggunakan perangkat yang bersumber pada mikroprosesor. Pada dasarnya, teknologi berbasis komputer menampilkan informasi kepada pembelajar melalui tayangan di layar monitor. Berbagai aplikasi komputer biasanya disebut “computer-based intruction (CBI)”, “computer assisted instruction (CAI”), atau “computer-managed instruction (CMI)”.

Aplikasi-aplikasi ini hampir seluruhnya dikembangkan berdasarkan teori perilaku dan pembelajaran terprogram, akan tetapi sekarang lebih banyak berlandaskan pada teori kognitif. Aplikasi-aplikasi tersebut dapat bersifat : (1) tutorial, pembelajaran utama diberikan, (2) latihan dan pengulangan untuk membantu pembelajar mengembangkan kefasihan dalam bahan yang telah dipelajari sebelumnya, (3) permainan dan simulasi untuk memberi kesempatan menggunakan pengetahuan yang baru dipelajari; dan (5) dan sumber data yang memungkinkan pembelajar untuk mengakses sendiri susunan data melalui tata cara pengakasesan (protocol) data yang ditentukan secara eksternal.

Teknologi komputer, baik yang berupa perangkat keras maupun perangkat lunak biasanya memiliki karakteristik sebagai berikut :

* Dapat digunakan secara secara acak, disamping secara linier
* Dapat digunakan sesuai dengan keinginan Pembelajar, disamping menurut cara seperti yang dirancang oleh pengembangnya.
* Gagasan-gagasan biasanya diungkapkan secara abstrak dengan menggunakan kata, simbol maupun grafis.
* Prinsip-prinsip ilmu kognitif diterapkan selama pengembangan
* Belajar dapat berpusat pada pembelajar dengan tingkat interaktivitas tinggi.

Teknologi Terpadu; merupakan cara untuk memproduksi dan menyampaikan bahan dengan memadukan beberapa jenis media yang dikendalikan komputer. Keistimewaan yang ditampilkan oleh teknologi ini,– khususnya dengan menggunakan komputer dengan spesifikasi tinggi, yakni adanya interaktivitas pembelajar yang tinggi dengan berbagai macam sumber belajar.

* Pembelajaran dengan teknologi terpadu ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :
* Dapat digunakan secara acak, disamping secara. linier
* Dapat digunakan sesuai dengan keinginan Pembelajar, disamping menurut cara seperti yang dirancang oleh pengembangnya.
* Gagasan-gagasan sering disajikan secara realistik dalam konteks pengalaman Pembelajar, relevan dengan kondisi pembelajar, dan di bawah kendali pembelajar.
* Prinsip-prinsip ilmu kognitif dan konstruktivisme diterapkan dalam pengembangan dan pemanfaatan bahan pembelajaran
* Belajar dipusatkan dan diorganisasikan menurut pengetahuan kognitif sehingga pengetahuan terbentuk pada saat digunakan.
* Bahan belajar menunjukkan interaktivitas pembelajar yang tinggi
* Sifat bahan yang mengintegrasikan kata-kata dan contoh dari banyak sumber media.

3. Kawasan Pemanfaatan

Pemanfaatan adalah aktivitas menggunakan proses dan sumber untuk belajar. Fungsi pemanfaatan sangat penting karena membicarakan kaitan antara pembelajar dengan bahan atau sistem pembelajaran. Mereka yang terlibat dalam pemanfaatan mempunyai tanggung jawab untuk mencocokkan pembelajar dengan bahan dan aktivitas yang spesifik, menyiapkan pembelajar agar dapat berinteraksi dengan bahan dan aktivitas yang dipilih, memberikan bimbingan selama kegiatan, memberikan penilaian atas hasil yang dicapai pembelajar, serta memasukannya ke dalam prosedur oragnisasi yang berkelanjutan.

Kawasan pemanfaatan mungkin merupakan kawasan Teknologi Pembelajaran, mendahului kawasan desain dan produksi media pembelajaran yang sistematis. Kawasan ini berasal dari gerakan pendidikan visual pada dekade pertama abad ke 20, dengan didirikannya museum-museum. Pada tahun-tahun awal abad ke-20, guru mulai berupaya untuk menggunakan film teatrikal dan film singkat mengenai pokok-pokok pembelajaran di kelas.

Di antara penelitian formal yang paling tua mengenai aplikasi media dalam pendidikan ialah studi yang dilakukan oleh Lashley dan Watson mengenai penggunaan film-film pelatihan militer Perang Dunia I (tentang pencegahan penyakit kelamin). Setelah Perang Dunia II, gerakan pembelajaran audio-visual mengorganisasikan dan mempromosikan bahan-bahan audio visual, sehingga menjadikan persediaan bahan pembelajaran semakin berkembang dan mendorong cara-cara baru membantu guru. Selama tahun 1960-an banyak sekolah dan perguruan tinggi mulai banyak mendirikan pusat-pusat media pembelajaran.

Karya Dale pada 1946 yang berjudul Audiovisual Materials in Teaching, yang di dalamnya mencoba memberikan rasional umum tentang pemilihan bahan dan aktivitas belajar yang tepat. Pada tahun, 1982 diterbitkan diterbitkan buku Instructional Materials and New Technologies of Instruction oleh Heinich, Molenda dan Russel. Dalam buku ini mengemukakan model ASSURE, yang dijadikan acuan prosedur untuk merancang pemanfaatan media dalam mengajar. Langkah-langkah tersebut meliputi : (1) Analyze leraner (menganalisis pembelajar); (2) State Objective (merumuskan tujuan);(3) Select Media and Materials (memilih media dan bahan); (4) Utilize Media and Materials (menggunakan media dan bahan), (5) Require Learner Participation (melibatkan siswa) ; dan (6) Evaluate and Revise (penilaian dan revisi).

Pemanfaatan Media; yaitu penggunaan yang sistematis dari sumber belajar. Proses pemanfaatan media merupakan proses pengambilan keputusan berdasarkan pada spesifikasi desain pembelajaran. Misalnya bagaimana suatu film diperkenalkan atau ditindaklanjuti dan dipolakan sesuai dengan bentuk belajar yang diinginkan. Prinsip-prinsip pemanfaatan juga dikaitkan dengan karakteristik pembelajar. Seseorang yang belajar mungkin memerlukan bantuan keterampilan visual atau verbal agar dapat menarik keuntungan dari praktek atau sumber belajar.

Difusi Inovasi adalah proses berkomunikasi malalui strategi yang terrencana dengan tujuan untuk diadopsi. Tujuan akhir yang ingin dicapai ialah untuk terjadinya perubahan. Selama bertahun-tahun, kawasan pemanfaatan dipusatkan pada aktivitas guru dan ahli media yang membantu guru. Model dan teori pemanfaatan dalam kawasan pemanfaatan cenderung terpusat pada perpektif pengguna. Akan tetapi, dengan diperkenalkannya konsep difusi inovasi pada akhir tahun 1960-an yang mengacu pada proses komunikasi dan melibatkan pengguna dalam mempermudah proses adopsi gagasan, perhatian kemudian berpaling ke perspektif penyelenggara.

Rogers (1983) melakukan studi tentang difusi inovasi, yang mencakup berbagai disiplin ilmu. Hasil studinya telah memperkuat pandangan tentang pentahapan, proses, serta variabel yang dapat mempengaruhi difusi. Dari hasil studi ini dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan bergantung pada upaya membangkitkan kesadaran, keinginan mencoba dan mengadopsi inovasi. Dalam hal ini, penting dilakukan proses desiminasi, yaitu yang sengaja dan sistematis untuk membuat orang lain sadar adanya suatu perkembangan dengan cara menyebarkan informasi. Desiminasi ini merupakan tujuan awal dari difusi inovasi. Langkah-langkah difusi menurut Rogers (1983) adalah : (1) pengetahuan; (2) persuasi atau bujukan; (3) keputusan; (4) implementasi; (5) dan konfirmasi.

Implementasi dan Institusionalisasi; yaitu penggunaan bahan dan strategi pembelajaran dalam keadaan yang sesungguhnya (bukan tersimulasikan). Sedangkan institusionalisasi penggunaan yang rutin dan pelestarian dari inovasi pembelajaran dalam suatu struktur atau budaya organisasi. Begitu produk inovasi telah diadopsi, proses implementasi dan pemanfaatan dimulai. Untuk menilai pemanfaatan harus ada implementasi. Bidang implementasi dan institusionalisasi (pelembagaan) yang didasarkan pada penelitian, belum berkembang sebaik-bidang-bidang yang lain. Tujuan dari implementasi dan institusionalisasi adalah menjamin penggunaan yang benar oleh individu dalam organisasi. Sedangkan tujuan dari institusionalisasi adalah untuk mengintegrasikan inovasi dalam struktur kehidupan organisasi. Keduanya tergantung pada perubahan individu maupun organisasi.

Kebijakan dan Regulasi; adalah aturan dan tindakan yang mempengaruhi difusi dan pemanfaatan teknologi pembelajaran. Kebijakan dan peraturan pemerintah mempengaruhi pemanfaatan teknologi. Kebijakan dan regulasi biasanya dihambat oleh permasalahan etika dan ekonomi. Misalnya, hukum hak cipta yang dikenakan pada pengguna teknologi, baik untuk teknologi cetak, teknologi audio-visual, teknologi berbasis komputer, maupun terknologi terpadu.

4. Kawasan Pengelolaan

Pengelolaan meliputi pengendalian Teknologi Pembelajaran melalui : perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian dan supervisi. Kawasan pengelolaan bermula dari administrasi pusat media, program media dan pelayanan media. Pembauran perpustakaan dengan program media membuahkan pusat dan ahli media sekolah. Program-program media sekolah ini menggabungkan bahan cetak dan non cetak sehingga timbul peningkatan penggunaan sumber-sumber teknologikal dalam kurikulum.

Dengan semakin rumitnya praktek pengelolaan dalam bidang teknologi pembelajaran ini, teori pengelolaan umum mulai diterapkan dan diadaptasi. Teori pengelolaan proyek mulai digunakan, khususnya dalam proyek desain pembelajaran. Teknik atau cara pengelolaan proyek-proyek terus dikembangkan, dengan meminjam dari bidang lain. Tiap perkembangan baru memerlukan caraa pengelolaan baru pula.

Keberhasilan sistem pembelajaran jarak jauh bergantung pada pengelolaannya, karena lokasi yang menyebar. Dengan lahirnya teknologi baru, dimungkinkan tersedianya cara baru untuk mendapatkan informasi. Akibatnya pengetahuan tentang pengelolaan informasi menjadi sangat potensial. Dasar teoritis pengelolaan informasi bersal dari disiplin ilmu informasi. Pengelolaan informasi membuka banyak kemungkinan untuk desain pembelajaran, khususnya dalam pengembangan dan implementasi kurikulum dan pembelajaran yang dirancang sendiri.

Pengelolaan Proyek; meliputi : perencanaan, monitoring, dan pengendalian proyek desain dan pengembangan. Pengelolaan proyek berbeda dengan pengelolaan tradisional (line and staff management) karena : (a) staf proyek mungkin baru, yaitu anggota tim untuk jangka pendek; (b) pengelola proyek biasanya tidak memiliki wewenang jangka panjang atas orang karena sifat tugas mereka yang sementara, dan (c) pengelola proyek memiliki kendali dan fleksibilitas yang lebis luas dari yang biasa terdapat pada organisasi garis dan staf.

Para pengelola proyek bertanggung jawab atas perencanaan, penjadwalan, dan pengendalian fungsi desain pembelajaran atau jenis-jenis proyek yang lain. Peran pengelola proyek biasanya berhubungan dengan cara mengatasi ancaman proyek dan memberi saran perubahan internal.

Pengelolaan Sumber; mencakup perencanaan, pemantauan dan pengendalian sistem pendukung dan pelayanan sumber. Pengelolaan sumber memliki arti penting karena mengatur pengendalian akses. Pengertian sumber dapat mencakup, personil keuangan, bahan baku, waktu, fasilitas dan sumber pembelajaran. Sumber pembelajaran mencakup semua teknologi yang telah dijelaskan pada kawasan pengembangan. Efektivitas biaya dan justifikasi belajar yang efektif merupakan dua karakteristik penting dari pengelolaan sumber.

Pengelolaan sistem penyampaian; meliputi perencanaan, pemantauan pengendalian “cara bagaimana distribusi bahan pembelajaran diorganisasikan” Hal tersebut merupakan suatu gabungan antara medium dan cara penggunaan yang dipakai dalam menyajikan informasi pembelajaran kepada pembelajar.

Pengelolaan sistem penyampaian memberikan perhatian pada permasalahan produk seperti persyaratan perangkat keras/lunak dan dukungan teknis terhadap pengguna maupun operator. Pengelolaan ini juga memperhatikan permasalaan proses seperti pedoman bagi desainer dan instruktur dan pelatih. Keputusan pengelolaan penyampaian sering bergantung pada sistem pengelolaan sumber.

Pengelolaan informasi; meliputi perencanaan, pemantauan, dan pengendalian cara penyimpanan, pengiriman/pemindahan atau pemrosesan informasi dalam rangka tersedianya sumber untuk kegiatan belajar. Pentingnya pengelolaan informasi terletak pada potensinya untuk mengadakan revolusi kurikulum dan aplikasi desain pembelajaran

5. Kawasan Penilaian

Penilaian merupakan proses penentuan memadai tidaknya pembelajaran dan belajar, mencakup : (1) analisis masalah; (2) pengukuran acuan patokan; (3) penilaian formatif; dan (4) penilaian sumatif .

Dalam kawasan penilaian dibedakan pengertian antara penilaian program, proyek , produk. Penilaian program – evaluasi yang menaksir kegiatan pendidikan yang memberikan pelayanan secara berkesinambungan dan sering terlibat dalam penyusunan kurikulum. Sebagai contoh misalnya penilaian untuk program membaca dalam suatu wilayah persekolahan, program pendidikan khusus dari pemerintah daerah, atau suatu program pendidikan berkelanjutan dari suatu universitas.

Penilaian proyek – evaluasi untuk menaksir kegiatan yang dibiayai secara khusus guna melakukan suatu tugas tertentu dalam suatu kurun waktu. Contoh, suatu lokakarya 3 hari mengenai tujuan perilaku. Kunci perbedaan antara program dan proyek ialah bahwa program diharapkan berlangsung dalam yang tidak terbatas, sedangkan proyek biasanya diharapkan berjangka pendek. Proyek yang dilembagakan dalam kenyataannya menjadi program.

Penilaian bahan (produk pembelajaran) – evaluasi yang menaksir kebaikan atau manfaat isi yang menyangkut benda-benda fisik, termasuk buku, pedoman kurikulum, film, pita rekaman, dan produk pembelajaran lainnya.

Analisis Masalah. Analisis masalah mencakup cara penentuan sifat dan parameter masalah dengan menggunakan strategi pengumpulan informasi dan pengambilan keputusan. Telah lama para evaluator yang piawai berargumentasi bahwa penilaian yang seksama mulai saat program tersebut dirumuskan dan direncanakan. Bagaimanapun baiknya anjuran orang, program yang diarahkan pada tujuan yang tidak/kurang dapat diterima akan dinilai gagal memenuhi kebutuhan.

Jadi, kegiatan penilaian ini meliputi identifikasi kebutuhan, penentuan sejauh mana masalahnya dapat diklasifikasikan sebagai pembelajaran, identifikasi hambatan, sumber dan karakteristik pembelajar, serta penentuan tujuan dan prioritas (Seels and Glasgow, 1990). Kebutuhan telah dirumuskan sebagai “jurang antara “apa yang ada”dan “apa yang seharusnya ada” dalam pengertian hasil (Kaufman,1972). Analisis kebutuhan diadakan untuk kepentingan perencanaan program yang lebih memadai.

Pengukuran Acuan Patokan; pengukuran acuan patokan meliputi teknik-teknik untuk menentukan kemampuan pembelajaran menguasai materi yang telah ditentukan sebelumnya. Penilaian acuan patokan memberikan informasi tentang penguasaan seseorang mengenai pengetahuan, sikap, atau keterampilan yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran. Keberhasilan dalam tes acuan patokan berarti dapat melaksanakan ketentuan tertentu, biasanya ditentukan dan mereka yang dapat mencapai atau melampaui skor minimal tersebut dinyatakan lulus.Pengukuran acuan patokan memberitahukan pada para siswa seberapa jauh mereka dapat mencapai standar yang ditentukan.

Penilaian Formatif dan Sumatif; berkaitan dengan pengumpulan informasi tentang kecukupan dan penggunaan informasi ini sebagai dasar pengembangan selanjutnya. Dengan penilaian sumatif berkaitan dengan pengumpulan informasi tentang kecukupan untuk pengambilan keputusan dalam hal pemanfaatan. Penilaian formatif dilaksanakan pada waktu pengembangan atau perbaikan program atau produk (atau orang dsb). Penilaian ini dilaksanakan untuk keperluan staf dalam lembaga program dan biasanya tetap bersifat intern; akan tetapi penilaian ini dapat dilaksanakan oleh evaluator dalam atau luar atau (lebih baik lagi) kombinasi. Perbedaan antara formatif dan sumatif telah dirangkum dengan baik dalam sebuah kiasan dari Bob Stake “ Apabila juru masak mencicipi sup, hal tersebut formatif, apabila para tamu mencicipi sup tersebut, hal tersebut sumatif. Penilaian sumatif dilaksanakan setelah selesai dan bagi kepentingan pihak luar atau para pengambil keputusan, sebagai contoh : lembaga penyandang dana, atau calon pengguna, walaupun hal tersebut dapat dilaksanakan baik oleh evaluator dalam atau dalam untuk gabungan. Untuk alasan kredibiltas, lebih baik evaluator luar dilibatkan daripada sekedar merupakan penilaian formatif. Hendaknya jangan dikacaukan dengan penilaian hasil (outcome) yang sekedar menilai hasil, biukannya prose — hal tersebut dapat berupa baik formatif maupun sumatif. Metoda yang digunakan dalam penilaian formatif berbeda dengan penilaian sumatif. Penilaian formatif mengandalkan pada kajian teknis dan tutorial, uji coba dalam kelompok kecil atau kelompok besar. Metoda pengumpulan data sering bersifat informal, seperti observasi, wawancara, dan tes ringkas. Sebaliknya, penilaian sumatif memerlukan prosedur dan metoda pengumpulan data yang lebih formal. Penilaian sumatif sering menggunakan studi kelompok komparatif dalam desain kuasi eksperimental.

Hubungan Antara Kawasan

Dengan adanya kawasan sebagaimana dikemukakan di atas, teknologi pembelajaran sampai dengan masa definisi 1994 telah memiliki kepastian tentang ruang lingkup wilayah garapannya. Meski ke depannya jumlah kawasan beserta kategorinya akan semakin berkembang, sejalan dengan perkembangan dalam bidang teknologi dan pendidikan, serta disiplin ilmu lainnya yang relevan, sebagai penopangnya. Setiap kawasan tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi memiliki hubungan yang sinergis.

SUMBER DAN DISARIKAN DARI :
arbara B. Seels dan Rita C. Richey yang berjudul Teknologi Pembelajaran: Definisi dan Kawasannya, hasil terjemahan Dewi S. Prawiradilaga, dkk.(1995) dari judul aslinya Instructional Technology : Definition and Domain of Field yang diterbitkan pada tahun 1994.

Sumber net: http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/20/teknologi-pembelajaran/

5 Cara Guru Belajar

Diterbitkan 25 April 2008 kurikulum dan pembelajaran
Tags: artikel, berita, guru, KTSP, kurikulum, makalah, opini, pembelajaran, pendidikan, profesi, umum

Perubahan paradigma pendidikan yang cukup dramatis pada saat sekarang ini, mau tidak mau menuntut para guru untuk dapat menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan perubahan yang ada. Salah satu cara yang efektif agar dapat menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan perubahan yang ada yaitu melalui belajar secara terus menerus. Dengan demikian, tuntutan untuk belajar tidak hanya terjadi pada siswa yang dibelajarkannya, tetapi guru itu sendiri pun justru dituntut untuk senantiasa belajar tentang bagaimana mengajar yang baik. Banyak cara yang bisa dilakukan guru untuk belajar, diantaranya:

1.Guru belajar dari praktik pembelajaran yang dilakukannya

Cara belajar guru yang pertama ini dilakukan melalui usaha untuk senantiasa memonitor, menganalisis dan melakukan refleksi atas setiap praktik pembelajaran yang dilakukannya. Melalui cara seperti ini guru akan memperoleh sejumlah pengetahuan dan pemahaman baru (the best practice) tentang siswa, sekolah, kurikulum, dan berbagai strategi pembelajaran. Kegiatan Penelitian Tindakan Kelas (1, 2) merupakan salah satu bentuk cara belajar guru semacam ini (Cochran-Smith and Lytle, 1993).

2.Guru belajar melalui interaksi dengan guru lain

Cara belajar guru yang kedua dapat dilakukan melalui interaksi dengan guru lain, baik secara formal maupun informal. Secara formal, misalnya melalui kegiatan mentoring (tutorial) yang dilakukan oleh guru senior yang berpengalaman terhadap guru baru (novice), berdasarkan penugasan secara resmi dari sekolah. Dalam hal ini, guru baru dapat menimba berbagai pengetahuan dan keterampilan dari mentornya (Feiman-Nemser and Parker, 1993). Sedangkan secara informal dapat dilakukan melalui kegiatan pembicaraan yang tidak resmi, misalnya pada saat berada di ruang guru, halaman sekolah dan tempat-tempat lainnya yang sifatnya tidak resmi. Bentuk lain belajar melalui interaksi dengan guru lain adalah melalui kegiatan MGMP/MGBK dan pertemuan profesional lainnya, dimana guru dapat saling belajar dan berbagi pengetahuan. Kegiatan supervisi pembelajaran, baik oleh guru senior, kepala sekolah maupun pengawas sekolah, termasuk ke dalam kategori cara belajar ini. Demikian juga, program lesson study merupakan salah satu bentuk cara belajar guru melalui interaksi dengan guru lain.

3.Guru belajar melalui ahli/konsultan

Cara yang ketiga, guru dapat belajar melalui ahli/konsultan. Dalam kegiatan ini, sekolah menyediakan seorang atau beberapa orang ahli/konsultan khusus dari luar untuk membelajarkan para guru di sekolah. Secara berkala, ahli/konsultan tersebut dihadirkan di sekolah untuk membelajarkan guru, misalnya dalam bentuk workshop atau layanan konsultasi. Melalui cara ini, para guru akan memperoleh pemahaman tentang berbagai inovasi pendidikan sekaligus memperoleh bimbingan dalam penerapannya. Dalam konteks ini, pengawas sekolah (educational supervisor) seyogyanya dapat diposisikan sebagai tenaga konsultan yang dibutuhkan untuk kepentingan peningkatan kemampuan guru.

4.Guru belajar melalui pendidikan lanjutan dan pendalaman

Asumsi yang mendasari cara yang keempat ini, bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang diperoleh seseorang, semakin lebih baik pula tingkat kemampuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan kemampuan guru, seyogyanya guru didorong untuk dapat melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi atau mengikuti pendidikan pendalaman akademik. Pendidikan lanjutan artinya guru melanjutkan studi sesuai dengan bidangnya, misalkan seorang guru Bimbingan dan Konseling yang sudah memiliki tingkat pendidikan S1, kemudian dia melanjutkan lagi studinya ke S2 Program Magister Bimbingan dan Konseling, dan seterusnya. Sedangkan pendidikan pendalaman, bisa dilakukan melalui kursus-kursus dan pendidikan alternatif yang relevan. Misalnya, guru Ekonomi yang berlatarbelakang S1 Pendidikan Ekonomi, untuk pendalaman bidang akademiknya dia bisa mengikuti pendidikan S1 alternatif di Fakultas Ekonomi.
Di samping memperoleh kemampuan yang lebih baik, kegiatan pendidikan lanjutan berkolerasi pula dengan tingkat penghasilannya (Renyi, 1996). Di Amerika, kegiatan pendidikan pendalaman banyak dilakukan pada musim summer atau setelah selesai jam sekolah. Demikian pula, di negara-negara tertentu, guru-guru banyak mengikuti program in service trainning dengan dititipkan (pencangkokan) di Perguruan Tinggi untuk beberapa lama.

5.Guru belajar melalui cara yang terpisah dari tugas profesionalnya.

Cara yang kelima ini, guru belajar tentang hal-hal yang sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan tugas-tugas profesionalnya, seperti pengembangan kemampuan intelektual dan moral terkait perannya sebagai orang tua, mengikuti pelatihan sebagai pengurus organisasi di masyarakat, pelatihan kepemimpinan dalam bisnis dan sebagainya. “They learn about nondidactic forms of instruction…”, demikian dikemukan oleh Lucido (1988). Meski tidak berhubungan langsung dengan tugas profesionalnya, beberapa hasil-hasil pelatihan tersebut dapat ditransfer untuk kepentingan penguatan kemampuannya sebagai guru.

Sumber: http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/25/5-cara-guru-belajar/