Rabu, 27 Mei 2009

MEWASPADAI KAPITALISASI DAN LIBERALISASI PENDIDIKAN

29 Maret 2008

Miris rasanya menatap wajah pendidikan dinegeri ini. Problem terjadi disana sini; mulai dari sarana yang tidak memadai, banyak gedung sekolah yang rusak, membengkaknya angka putus sekolah, ketidakprofesionalan para pendidik, sampai kurikulum yang gonta ganti. Disamping itu, kepribadian peserta didik yang terpecah dengan keahlian minim serta output peserta didik dengan kualitas ‘tanggung’ seakan menjadi pelengkap penderita dunia pendidikan nasional.
Sebagai negara yang memiliki lebih dari 220 juta penduduk yang tingkat partisipasi pendidikan tinggi hanya 14% dari jumlah penduduk usia 19 – 24 tahun, Indonesia ternyata menjadi incaran negara-negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan, Ini karena perhatian pemerintah terhadap bidang pendidikan saat ini masih rendah. Hal ini tampak dari kecilnya alokasi dari APBN untuk bidang pendidikan.
Secara umum mutu pendidikan nasional kita mulai dari sekolah dasar sampai pendidikan tinggi jauh tertinggal dari standar mutu internasional. Kedua hal tersebut sering menjadi alasan untuk meminta bantuan dari luar dengan ‘mengundang’ masuknya penyedia jasa pendidikan dan pelatihan dari luar negeri ke Indonesia. Untuk lebih meningkatkan ekspor jasa pendidikan tinggi ke negara-negara berkembang, intervensi pemerintah dalam sektor jasa tersebut harus dihilangkan. Liberalisasi semacam itulah yang hendak dicapai melalui General Agreement on Trade in Services (GATS) yang ditandatangani pada bulan Desember 2005 sebagai salah satu isu penting yang dirundingkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Menteri WTO ke- IV dimana Indonesia terlibat di dalamnya.
Indonesia mulai mengikatkan diri dalam WTO sejak tahun 1994. Dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994, tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional.
Sebagai anggota WTO, Indonesia tentu saja tidak bisa menghindar dari berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa pendidikan. Keputusan yang dinilai agak terburu-buru, mengingat kondisi pendidikan nasional saat ini yang masih bermasalah di sana sini. Keputusan liberalisasi pendidikan ditetapkan ditengah angka buta huruf dan putus sekolah yang masih tinggi di Indonesia. Dalam kondisi seperti ini pendidikan hanya menjadi barang komersial yang jauh dari upaya pemenuhan hak konstitusi rakyat atas pendidikan yang berkualitas oleh negara.
Adapun alasan pemerintah dalam meliberalisasi sektor jasa pendidikan terkait dengan upaya memperbaiki kualitas pelayanan pendidikan di Indonesia menjadi lebih bermutu. Sistem pendidikan di Indonesia di nilai masih buruk terutama disebabkan karena minimnya komitmen pemerintah (negara) dalam aspek pendidikan. Komitmen pemenuhan anggaran pendidikan yang mencapai 20% APBN hanya menjadi ‘aksen politik’ tanpa bukti. Dalam kerangka ini,rencana berdagang pendidikan dalam wadah WTO jelas ingin memindahkan tanggung jawab negara dalam pendidikan kepada korporasi dan hukum pasar neoliberal.
Dengan wacana bahwa sentralisasi pengelolaan pendidikan nasional selama Indonesia merdeka, ternyata telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang jauh tertinggal dibanding dengan negara lain di dunia, mendorong lahirnya semangat baru dan visi yang lebih demokratis dan lebih desentralistis dalam pengelolaannya. Dengan semangat demokratisasi,desentralisasi (sesuai Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang Otonomi daerah) dan globalisasi. Maka dengan ini terbukalah investasi asing dalam dunia pendidikan dengan berbagai legalitas yang diberikan pemerintah pusat maupun daerah,misalnya dengan UU No.20 tahun 2003 pasal 53 yang mangatur tentang badan Hukum pendidikan dan PerPres No.77/2007 tentang daftar bidang usaha yang terbuka dan bidang usaha yang tertutup dengan persyaratan penanaman modal. Untuk pendidikan- Dasar-Menengah-Kejuruan-Vokasional-PT batas pemodal asing 49%.
Segudang masalah pendidikan di Indonesia tersebut hakikatnya berakar pada sistem kapitalisme-sekuler yang diterapkan di negeri ini. Ideologi kapitalisme meniscayakan sistem politik, ekonomi termasuk pendidikan yang kapitalistik. Wajah pendidikan yang bersifat sosial berubah menjadi profit oriented. Prinsip kapitalisasi dan liberalisasi pendidikan telah menggeser visi mulia lembaga pendidikan menjadi sekedar alat untuk mencari keuntungan. Pada akhirnya pendidikan hanya menjadi komoditas ekonomi.
Profitisasi pendidikan ini tidak lepas dari kepentingan memilik modal. Tujuannya tidak lain untuk semakin memperkokoh hegemoni sistem kapitalisme di negeri ini. Cengkeraman sistem kapitalis tidak akan mengakar ketika sistem pendidikan tidak dikapitalisasi dan diliberalisasi. Kapitalisasi dan liberalisasi dunia pendidikan merupakan rangkaian dari kapitalisasi sumber daya alam, listrik, kesehatan dan sarana publik lainnya.
Pendidikan berkualitas memang tidak murah, tetapi persoalannya siapa yang harus membayarnya, bukan berarti hal itu dibebankan kepada masyarakat. Kewajiban pemerintahlah yang seharusnya menjamin pendidikan setiap rakyatnya baik kaya ataupun miskin, dengan akses yang mudah untuk pendidikan yang bermutu. Keterbatasan dana yang dimiliki negara tidak dapat dijadikan alasan bagi pemerintah untuk “cuci tangan” dan memindahkan tanggung jawab pendidikan kepada hukum pasar.
Untuk mengatasi masalah ini, perlu dilakukan langkah-langkah sistematis dengan merombak semua sistem termasuk sistem pendidikan, sistem ekonomi, dan sistem lainnya menjadi sistem Islam. Dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen maupun infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh Negara (Abu Yasin dalam, Strategi Pendidikan Negara Khilafah).
Mengapa demikian? Dalam sistem Islam pendidikan didasarkan pada kesadaran bahwa setiap muslim wajib menuntut ilmu. Allah SWT mewajibkan setiap muslim untuk menuntut ilmu dan membekali dirinya dengan berbagai ilmu yang dibutuhkannya dalam kehidupan. Atas dasar ini, Negara wajib menyediakan pendidikan bebas biaya kepada rakyatnya agar mereka bisa menjalankan kewajibannya. Negara harus bersungguh-sungguh berupaya memperoleh pendapatan Negara dengan cara mengelola secara baik perekonomian agar bisa memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya termasuk pendidikan. Sebab negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat: pendidikan, kesehatan dan keamanan. Ketiga kebutuhan tersebut dijamin secara langsung oleh negara. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara.
Rasulullah Saw sebagai kepala negara telah menetapkan tebusan tawanan perang Badar berupa keharusan mengajar sepuluh anak kaum muslim. Selain itu terdapat Ijma’ sahabat tentang pemberian gaji kepada para guru yang dananya diambil dari kas negara. Wadhiyah bin Atha menuturkan riwayat ;”Di Madinah terdapat tiga orang guru yang mangajar anak-anak. Khalifah Umar memberikan nafkah kepada tiap-tiap mereka 15 dinar setiap bulannya.”
Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Hal ini menunjukkan bahwa masalah pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara bukan hukum pasar.
(Oleh: Afifah Ummu Hafiz; Pemerhati Pendidikan)
Sumber: www.irfansp.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar