Rabu, 27 Mei 2009

Intranet: Membangun Cyber Democracy di Sekolah

Oleh: Adi Wirawan
Teach to Learn, Learn to share
27 Agustus 2007

Sudah menjadi rutinitas harian, bu Tina, seorang guru bimbingan konseling di sebuah sekolah swasta di Bogor membuka mailbox intranet sekolahnya. Sebuah pesan dengan subyek “Bu, si Samid kayaknya klepto deh” menarik perhatiannya.
Ini bukan pengaduan pertama sejenis yang pernah diterimanya. Bu Tina segera menelusuri mailboxnya dan menemukan tiga pesan lain yang sama dari siswa yang berbeda. Segera ia membuat perencanaan konseling untuk verifiksi tertutup serta laporan yang segera ia forward ke wali kelas dan kepala sekolah.
Di lab sekolah, para siswa tengah sibuk mengisi kuisioner dan pooling online, sementara Pak Rahmat guru TIK beserta guru lainnya terpaku pada layar monitor 17 inci di ruang guru, mereka melihat menganalisa hasil polling yang telah masuk seputar situasi sekolah, kinerja guru dsb. Grafik hasil vooting terus bergerak mengikuti variabel-variabel yang dinilai.
Sudah menjadi tradisi sekolah, setiap bulan satu kali dilakukan pooling dan kuisioner online. Banyak hal ditanyakan seperti siapa murid paling disukai, tidak disukai, guru paling sabar, pendapat tentang fasilitas dan pelayanan sekolah dsb. Meski kegiatan ini sifatnya unofficially, tapi hasilnya tetap menjadi kepedulian yag cukup mendalam bagi seluruh sifitas sekolah.
Di tempat yang berbeda, Pak Agus sang kepala sekolah yang saat itu sedang dalam perjalanan menuju sebuah seminar, di tengah kemacetan, dengan notebook dipangkuan yang terkoneksi ke internet melalui handphone mengakses situs sekolah dan mencek pesan-pesan masuk. Laporan Bu Tina telah masuk dan segera di approve. kemudian ia membuka sebuah pesan lain dari seorang siswanya dengan subyek “Pak, bu guru x sering memaksa kami membeli fotokopi pelajaran dengan harga terlalu mahal”.
Pengaduan ini pernah dibahas dalam sebuah rapat tertutup, namun ketika itu Pak Agus belum mengambil tindakan kerena masih dianggap sebagai laporan minor. Segera sang kepala sekolah memerintahkan pemberian surat peringatan kepada bagian andiministrasi disertai appointment dengan guru x untuk membahas hal tersebut. Disamping itu melalui pesan pribadi ia memberikan saran kepada salah saorang wali kelas untuk melakukan home visit ke siswa tertentu yang berdasarkan absen online yang ia baca telah absen beberapa hari tampa pemberitahuan.
Ilustrasi di atas merupakan gambaran bagaimana sebuah komunitas online yang mengintegrasikan fitur-fitur intranet jaringan akses global dapat dibangun di sekolah. Point yang perlu digaris bawahi dari semua hal tersebut adalah bagaimana setiap pihak yang berkepentingan disekolah terkoneksi dan memperoleh kesempatan yang lebih besar dalam merepresentasikan kepentingannya.
Keterlibatan setiap stack holder dalam sebuah institusi pendidikan merupakan kunci keberhasilan dari proses kegiatan belajar itu sendiri. Pemanfaatan teknologi informasi untuk tujuan ini secara teknis saat ini sudah menjadi sangat mungkin.
Perkembangan teknologi berbasis web dinamis mengalami pertumbuhan yang pesat. berbagai bahasa pemrograman web seperti PHP, ASP, Java, SOAP, Flash yang terus berkembang disertai teplate, CMS, Script yang bersifat instan memungkinkan pembangunan intranet yang spesifik dikembangkan untuk sekolah bahkan tidak menuntut pemahaman pemrograman yang terlalu mendalam.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah sekolah telah siap dengan perubahan yang mungkin timbul dari terbentuknya komunitas online seperti ini?, apakah seorang guru siap menerima berbagai kritik yang mungkin menganggu kredibilitasnya sebagai pendidik? Bagaimana sekolah mengambil sikap terhadap arus komunikasi masuk dan keluar? dan berbagai konsekuensi lain yang muncul kemudian.
Masa-masa dimana posisi pendidik berada pada tempat yang begitu sakral barangkali telah berlalu. Setiap zaman memiliki tantangan-tantangan yang berbeda. Saat ini fungsi dan peran guru mengalami pergeseran. Dalam konteks cyber democracy kematangan pendidik terletak pada kemampuan dalam menyerap dan mentransformasikan teknologi sebagai sarana mengekspresikan diri bagi seluruh sifitas sekolah. Melatih kemampuan verbal anak, menerima kritik atau pujian serta mensinergikan seluruh potensi komunitas untuk kemajuan sekolah dalam pengertian yang lebih universal dan fair bagi semua pihak yang berkepentingan.
Keterbukaan sekolah merupakan sebuah konsekuensi logis sebagai dampak dari librealisasi informasi yang ditopang oleh kemajuan teknologi. Institusi pendidikan secara kultur dan moral merupakan milik masyarakat dituntut membuktikan slogan itu. Perluasan peran sekolah dari sebuah institusi pelayanan publik (public service) yang bergerak menjadi bagian inhern dari suatu lingkungan sosial (Civil Society) merupakan tantangan masakini dan akan datang.
Pada akhirnya seperti orang bijak mengatakan, pengetahuan ibarat pisau bermata ganda, di satu sisi dapat digunakkan untuk hal-hal yang bermanfaat, pada sisi lainnya dapat melukai orang lain atau diri sendiri.
Penulis adalah pemrakarsa CEDS-ID (Computer for Education Studies tinggal di Depok)
Sumber: http\\blog-evaluasi\Intranet Membangun Cyber Democracy di Sekolah « Adi Wirawan.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar