Rabu, 27 Mei 2009

Artikel Pembiayaan Pendidikan Tinggi

Selasa Paing, 21 Nopember 2006

Oleh Ahmad Rafsanjani

TIDAK ada satu pun tradisi pemikiran yang meminggirkan peran pendidikan. Mulai dari Plato sampai Bill Gates, yang mengklaim pendidikan sebagai agen peradaban dan sumber daya strategis di masa depan. Narasi pendidikan masa kini berkembang semakin kompleks. Domainnya meliputi metode, output, tujuan, falsafah sampai dana untuk pendidikan. Yang terakhir, masalah sumber finansial dalam pendidikan (terutama pendidikan tinggi) menjadi salah satu topik perdebatan utama.

Pendidikan (tinggi) dihakimi mulai bergeser ke arah jasa, bukan lagi hak warga negara yang mesti dipenuhi oleh negara. Sama seperti yang diinginkan oleh penganjur ''komersialisasi'' pendidikan, yang biasanya diwakili dalam konsensus Hongkong Round, dengan menempatkan pendidikan sebagai komponen GATS (General Agreement of Trade Services).
Di Indonesia, kenyataan ini diperkuat ketika subsidi negara untuk pendidikan tinggi mulai dikurangi di tengah kebutuhan pendanaan yang makin tinggi, dan angin otonomi sedang diembuskan, yang kemudian mendesak perguruan tinggi (negeri) seakan berlomba meningkatkan pendapatan.
Salah satu sumber pendapatan adalah dari peserta didik. Imbasnya terasa panjang, dari mahalnya pendidikan sampai dugaan diskriminasi. Mahalnya biaya pendidikan tinggi saat ini seperti fenomena retrospektif, kembali ke masa lalu. Masa ketika terdapat pembedaan antara sekolah rakyat dengan sekolah Belanda, antara sekolah orang miskin dengan sekolah kaum berduit.

''Entrepreneur University''

Agar beban masyarakat untuk mendanai pendidikan tinggi tidak semakin berat, alternatif solusi pun dimunculkan. Salah satunya melalui entrepreneur university. Universitas berbasis nilai-nilai kewirausahaan akan menjadi sinergi antara mahasiswa dan pengelola pendidikan tinggi, disesuaikan dengan kebutuhan pihak eksternal (masyarakat, dunia industri dan pemerintah), dalam merumuskan desain yang seimbang antara fungsi sosial dan kemampuan menopang diri sendiri.
Kegiatan wirausaha juga membuat pendidikan tinggi bersinggungan dengan nilai-nilai dari dunia industri. Persinggungan ini diharapkan ikut berperan dalam mengembangkan mutu pendidikan. Melalui transfer nilai-nilai semisal: masalah kekinian, pengendalian manajemen berdasarkan kualitas, paradigma kesesuaian dengan kebutuhan pelanggan (mahasiswa dan masyarakat), perubahan berkelanjutan yang seringkali berpusat pada gagasan progresif different or die, dan efektivitas organisasi.
Input eksternal seperti ini tentu bermanfaat agar pendidikan tinggi tidak seperti menara gading, yang tampak megah di langit intelektualitas, namun tidak menyentuh akar perubahan di masyarakat.

Keunggulan Tematik
Aktivitas entrepreneur university tidak melulu didominasi partnership dengan industri. Dalam buku ''Academic Capital: Politics, Policies & The Entrepreneur University'' (Slaughter & Leslie, 1997), dipaparkan berbagai kegiatan produktif lain. Seperti riset untuk pemerintah, kontrak pelayanan sosial dan konsultasi bagi masyarakat, pendampingan masyarakat, asistensi supervisi dalam program-program komunitas, running proyek pembangunan pemerintah, kerja sama dengan lembaga internasional, ataupun proses magang dan perekrutan mahasiswa sejak dini. Sehingga beraneka-ragamnya sinergi mutual pendidikan tinggi ini membuka banyak kesempatan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan masyarakat dan pengembangan ekonomi, yang memang ditopang oleh riset dan pemikiran-pemikiran konstruktif dari perguruan tinggi lokal.
Makna entrepreneur juga sebaiknya dilihat dalam perspektif yang lebih luas, yaitu sebagai salah satu karakter, atau falsafah pendidikan. Hibrida filosofis entrepreneur memicu riset-riset inovatif, menjanjikan rangkaian produktivitas yang pervasif, serta profit sebagai nilai tambah ekonomis.
Meski demikian, riset pun tidak selamanya berorientasi profit, tetapi juga dapat diarahkan menuju fungsi pengabdian masyarakat. Misalnya, riset mahasiswa planologi untuk tata ruang kota yang aksesibel bagi penyandang cacat. Atau riset-riset yang berorientasi praksis, seperti komunikasi populer dan psikologi pendidikan, serta banyak lagi yang lain. Ini lebih mencerahkan dan berdaya guna, dibanding desain rigid kuliah kerja nyata yang hanya mensyaratkan keterlibatan instan mahasiswa dalam masyarakat.
Selain itu, proses inovasi dalam term wirausaha, menurut Robert Sternberg dari Universitas Yale, akan mendorong komunitas peneliti dalam universitas (termasuk mahasiswa) melampaui tiga tahap pembelajaran, yaitu memahami, mengkombinasi ide-ide dan membandingkan. Proses ini tentu saja memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding sekadar how to think.
Nilai tambah yang juga positif, doktrin entrepreneurship dapat menjadi anasir provokatif dalam budaya unggul dan kemandirian berbasis self help.
Bagaimana pun, entrepreneur university tetap merupakan alternatif yang layak dicoba. Tentu dengan berbagai perbaikan berkelanjutan atas catatan kritis di atas. Hal ini jauh lebih baik dibanding kita harus membebankan pada masyarakat yang saat ini berada dalam keadaan perekonomian yang kurang menguntungkan.
Peningkatan kualitas pendidikan akan selaras dengan peningkatan pendanaan. Untuk itu, upaya mencari sumber-sumber alternatif yang lain mutlak dilakukan. Di antaranya bisa melalui donasi alumni, partisipasi komunitas setempat yang dapat memicu helping relationship, membuat badan khusus yang berfungsi untuk menggalang dana, tambahan dari pendapatan pemerintah daerah atau subsidi silang dari perguruan tinggi (negeri dan swasta) yang memiliki pendapatan berlimpah.

Penulis, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran - Bandung, juga bergiat di Lembaga Kajian Mahasiswa

* Entrepreneur university berbasis nilai-nilai kewirausahaan akan menjadi sinergi antara mahasiswa dan pengelola pendidikan tinggi, disesuaikan dengan kebutuhan pihak eksternal (masyarakat, dunia industri dan pemerintah), dalam merumuskan desain yang seimbang antara fungsi sosial dan kemampuan menopang diri sendiri.
* Kegiatan wirausaha juga membuat pendidikan tinggi bersinggungan dengan nilai-nilai dari dunia industri.
* Input eksternal tentu bermanfaat agar pendidikan tinggi tidak seperti menara gading, yang tampak megah di langit intelektualitas, namun tidak menyentuh akar perubahan di masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar