Rabu, 27 Mei 2009

BERKUALITAS = MAHAL ?

07 September 2008


Ada kesalahan paradigma di tengah masyarakat perihal masalah pembiayaan pendidikan saat ini. Sudah menjadi semacam konvensi, apabila seseorang ingin masuk ke sekolah unggulan, sekolah favorit, atau kampus terkemuka (yang biasanya dicirikan oleh fasilitas serba lengkap dan tingginya kuantitas peminat), selalu harus mengeluarkan cost yang tidak sedikit. Dengan bahasa yang lebih konkrit, institusi pendidikan yang berkualitas mesti mahal.
Ketika ada sekolah gratis, sering para orang tua ragu untuk memasukkan anaknya ke sekolah tersebut. Ada kekhawatiran, fihak sekolah tidak memiliki fasilitas belajar yang memadai, guru yang kualitasnya pas-pasan, atau lingkungan pergaulan yang “tidak sehat”. Alhasil, sebagian besar orang tua rela merogoh kocek lebih dalam (bahkan sampai utang sana sini) agar sang penerus generasi masuk ke sekolah bonafide, menjadi orang pintar dan akhirnya dapat dibanggakan oleh keluarganya. Sementara yang memang terkategori “tidak mampu”, hanya bisa pasrah dan gigit jari meratapi nasib.
Cara pandang seperti ini tidak sepenuhnya salah. Adalah hal yang wajar setiap orang tua menginginkan anaknya hidup sukses menggapai cita-cita. Seluruh pengeluaran dianggap sebagai investasi jangka panjang sebagai konsekuensi dari sebuah kesuksesan.
Sementara realitas menunjukkan bahwa sarana prasarana pendidikan (termasuk reward tenaga pengajar dan tenaga teknis lainnya) bukanlah barang murah alias high cost. Apalagi ditengah arus liberalisasi dan komersialisasi diberbagai sektor kehidupan yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh pemerintah. Imbasnya, pendidikan yang tujuan sebenarnya adalah memanusiakan manusia, telah bermetamorfosis menjadi commercial good yang mengikuti logika ekonomi.
Menurut pengamat pendidikan sekaligus Rektor UGM, Prof Dr Sofian Effendi, logika perdagangan jasa pendidikan ini mengikuti tipologi yang digunakan oleh para ekonom dalam membagi kegiatan usaha di tengah masyarakat. Pendidikan dianggap sebagai salah satu industri sektor tersier, karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang berpengetahuan dan memiliki keterampilan. Dengan pola pikir seperti ini, WTO mewajibkan seluruh anggotanya –Indonesia termasuk didalamnya- untuk meliberalisasi sektor pendidikan.

Murah dan Berkualitas, Mungkinkah?
Jawabnya, tentu mungkin. Syaratnya, semua fihak memberikan perhatian serius dan sungguh-sungguh demi kemajuan pendidikan di negeri ini. Sebagai entitas tertinggi dalam perumusan sekaligus eksekusi kebijakan, maka pemerintah harus menjadi garda utama sekaligus terdepan dalam memajukan pendidikan nasional.
Perhatian itu tidak hanya terwujud secara formalistik seperti alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 % di APBN dan APBD, tapi harus lebih dari itu. Apalagi, seperti yang disampaikan oleh Wapres, dana sebesar itu sebenarnya masih sangat jauh dari kata cukup, apalagi untuk meratakan akses pendidikan bagi seluruh warga masyarakat terutama golongan masyarakat miskin yang jumlahnya telah mencapai puluhan juta. Sementara sekolah gratis (baik negeri atau yang dikelola swasta) yang ada selama ini masih bersifat kedaerahan dengan skala yang sangat terbatas.
Alhasil, hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah merubah paradigma pengelolaan sektor-sektor yang terkait dengan hajat hidup orang banyak (public service), yang sebelumnya bersifat market oriented, menjadi social oriented.
Menurut Amhar (2007), setidaknya ada tiga syarat untuk mewujudkan pendidikan berkualitas yang murah meriah, bahkan gratis. Pertama, sistem pendidikan (kurikulum, tempat belajar, alat Bantu pengajaran, dll) yang efisien. Kedua, penyelenggara pendidikan yang amanah (capable), dan ketiga, adanya dana publik yang dikelola negara dan memang didedikasikan untuk itu.
Melihat potensi kekayaan yang ada, sebenarnya kita memiliki dana yang cukup untuk menyelenggarakan pendidikan gratis tersebut.
Sebagian kekayaan yang dimiliki tersebut antara lain ; 1. Potensi hasil hutan berupa kayu (data tahun 2007) sebanyak Rp 25 triliyun, 2. Potensi hasil hutan berupa ekspor tumbuhan dan hewan (1999), sebesar Rp 15 triliyun. 3. Potensi pendapatan emas di Papua (2005) sebesar Rp 40 triliyun. 4. Potensi pendapatan migas Blok Cepu sebanyak Rp 10 triliyun. Belum ditambah hasil laut, batubara dan gas bumi yang jumlahnya melimpah, dst. Potensi kekayaan negara juga akan banyak terselamatkan seandainya aparatur di negeri ini amanah dalam menjalankan pemerintahan.
Pendidikan gratis sebenarnya bukanlah barang baru apalagi aneh. Bahkan, beberapa negara maju seperti Jerman, Austria, termasuk negara-negara skandinavia telah menggratiskan biaya pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai jenjang Doktor (S3). Alhasil, tidak ada yang tersisih karena persoalan biaya. Soal kualitas, jangan ditanya. Ratusan bahkan ribuan ilmuwan kelas dunia (termasuk peraih nobel) lahir dari rahim berbagai universitas di sana. Padahal secara resources, mereka tidak sekaya kita.
Meski institusi pendidikan sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah, manajemen dalam pengelolaan tetap dilakukan secara profesional. Fihak sekolah/ universitas tidak “manja” dengan berbagai fasilitas yang dimiliki. Mereka melakukan berbagai terobosan dan kerjasama dengan berbagai fihak (terutama industri). Di sini, pendidikan dan industri terkait erat (link & match).
Peradaban Islam juga pernah berjaya selama beberapa abad ketika pemerintah waktu itu memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap sektor pendidikan. Bukan hanya menggratiskan, tapi juga menyediakan berbagai fasilitas untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Prestasi para ilmuwan muslim telah dicatat oleh tinta emas sejarah.
Pertanyaannya sekarang, maukah pemerintah negeri ini melakukannya? Wallahu’alam.
irfansp.blogspot.com/.../berkualitas-mahal.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar