Jumat, 2 Mei 2008 | 21:12 WIB
Oleh: Moh Muhibbin
Fenomena sekolah unggulan mulai bertebaran di tengah masyarakat mulai ibu kota kabupaten/kota hingga kecamatan. Sekolah-sekolah ini bertarif mahal dan dikampanyekan pengelolanya akan menjanjikan serta menjamin masa depan anak didik.
Salah satu selebaran yang diedarkan sekolah unggulan ini berbunyi “bergabunglah dengan sekolah yang tidak jual mimpi”, “masukkan anak anda ke sekolah ini, jika ingin menjadi profesional”, atau “saatnya orangtua tidak meninggalkan kader lemah di masa depan”. Membaca selebaran-selebaran semacam itu, di satu sisi dapat ditangkap isyarat bahwa pengelola pendidikan rupanya semakin rajin meramu model sekolah yang dikalkulasi akan mampu merangsang dan menyedot konsumen sebanyak-banyaknya, khususnya konsumen pendidikan yang berasal dari kalangan orangtua atau keluarga berduit.
Berapa pun banyaknya uang yang dikeluarkan tidak akan menjadi perhitungan utama karena yang diutamakan adalah kepuasan. Pernyataan tersebut menunjukkan sekolah berlabel unggulan yang dijual sebagian pengelola pendidikan sebenarnya masih layak dipertanyakan kesejatian keunggulannya. Bukan tidak mungkin, apa yang distigmakan dalam kosakata “unggulan” terbatas pada strategi pemenuhan kebutuhan pasar elite yang menuntut pemuasan dari ambisi status sosialnya.
Tampaknya gejala sekolah unggulan yang dijual ke pasar orangtua atau keluarga berduit cenderung mengikuti dan mendikte konsumen yang berburu status sosial. Sekolah dibangun bukan mengikuti dasar-dasar moral-filosofi yang dibutuhkan anak didik untuk membentuk kepribadian sehingga menjadi pribadi unggul, namun lebih dominan mengikuti irama kepentingan pembenaran ambisi orangtuanya.
Ada kisah, misalnya, salah satu sekolah di Jatim yang telah mengemas dirinya menjadi sekolah unggulan dengan tema jual ke pasar sebagai sekolah unggulan. Dalam penawaran kepada orangtua murid, sistem pembelajaran di sekolah model ini dilaksanakan dengan sistem anak didik diwajibkan mengikuti rule of game yang digariskan sekolah hingga sore (pukul 17.00). Sayangnya, dalam beberapa hari, sekolah ini tidak menjalankan aturan main yang sudah dijual ke pasar.
Akibat wanprestasi ini, para orangtua murid memprotesnya. Alasannya, ini merugikan anak-anak dan mereka. Pasalnya, mereka menyekolahkan anak di sekolah model ini dengan pertimbangan adaptasi jam kerjanya sama dengan berakhirnya jam sekolah anak. Karena anak sering dipulangkan lebih awal, pihak sekolah telah merugikan jam kerjanya. Ini berarti, secara ekonomi, sekolah telah menghadirkan masalah dan bukan menyelesaikan masalah. Kasus tersebut menunjukkan ukuran unggulan yang dipakai sekolah maupun orangtua sebenarnya sudah tidak sama.
Dari pihak keluarga atau orangtua murid, sekolah unggulan diasumsikan sebagai lembaga pendidikan yang mampu menyelaraskan kepentingan anak didik dan kesibukan mereka.
Dalam kasus tersebut, di satu sisi model sekolah demikian barangkali akan menjadi obyek jual ke pasar yang mampu menyedot konsumen. Namun di sisi lain, pengelola pendidikan dan konsumen perlu diluruskan bahwa kesejatian pendidikan bukan pragmatisme, instanisme, otoritarianisme, atau menciptakan atmosfer edukatif yang “memenjara” anak, melainkan atmosfer yang menumbuhkan pencerdasan dan penceraham moral intelektual kepada anak didik.
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran. Ini agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, serta negara.
Dalam dimensi yuridis tersebut ada kosakata “mengembangkan” potensi yang menggabungkan kognisi, afeksi, dan psikomotorik sehingga target pencapaian dalam setiap proses pembelajaran menekankan pada akumulasi nilai. Jika akumulasi nilai yang menjadi tolok ukur, standar keunggulan terletak pada kemampuan setiap penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan untuk mengantarkan anak didik menjadi manusia unggulan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar