Rabu, 27 Mei 2009

Bagaimana seharusnya pendidikan itu?

(oleh: adhiwirawan)
10 Desember 2008

Membahas isu pendidikan, setiap orang punya versi idealnya masing-masing. Para pakar dan praktisi lebih-lebih lagi, ada kriteria, filosofi, prinsip, tujuan, metode, strategi, pendekatan, etika, dasar ideologis, historis de el el untuk pendidikan.
Saat ini saya hanya ingin menulis pendidikan versi saya. Hasil renungan, brainstorming dan temuan-temuan lain dari hari ke hari. Jadi kalau ada yang tidak sependapat wajar aja, karena ini hanya penilaian pribadi

1. Pendidikan seharusnya menyenangkan.
Sulit dibayangkan penginstitusian pendidikan mengarah pada sebuah metode penyiksaan bagi anak didik, maupun pendidik.
Meski proses pembelajaran dituntut untuk mencapai target-target tertentu, kita tidak boleh terjebak dalam lingkaran kecil dan mengorbankan waktu perkembangan anak yang begitu berharga dengan pressure-pressure yang justru menjadikan masa belajar menjadi momen-momen menyakitkan yang tumbuh menjadi kenangan pahit untuk diingat saat mereka dewasa.







2. Pendidikan seharusnya lebih mementingkan sikap positif
Diantara Tiga aspek pendidikan, penanaman sikap dan nilai-nilai seharusnya lebih diutamakan. IMHO keterampilan dan pengetahuan hanya bisa dicapai secara optimal dengan sikap positif. Sikap rendah hati tidak merasa paling pintar mendorong setiap oprang mawas diri akan sesuatu yang perlu diperbaiki. Sikap saling suka suka menolong bisa membangun sebuah lingkungan yang sangat kondusif untuk belajar. sikap sopan bisa menciptakan iklim yang baik untuk proses pembelajaran. Sikap obyektif akan kekurangan mendorong orang menyadari bahwa ia harus berupaya lebih keras dari yang lainnya.
Yang saya lihat, sikap, perilaku, penghargaan akan nilai-nilai etika, moral pada institusi pendidikan kita memiliki kecenderungan (tren) menurun pada setiap tahun yang dilaluinya.
Saya masih ingat para siswa kelas 9 yang saya ajar saat mereka baru masuk sekolah 3 tahun lalu. Begitu lucu, sopan, dan setiap mereka memasuki pintu gerbang sekolah, terpancar keceriaan, dan harapan dari wajah meeka (The age of innocent??).
Dengan berjalannya waktu dan berganti tahun para terlihat adanya gejala pergeseran sikap dari para guru dalam menilai perilaku mereka, dari awalnya selalu siap menyambut dengan senyum, menjadi sikap curiga. “abis ngapain nih anak??”, atau “mo ngapain nih nanti di kelas??”
Sebuah situasi pembelajaran yang sangat sangat tidak kodusif, rasa curiga dari guru mendorong berkembangnya kebiasaan mencari alasan (guru lebih sering melihatnya terbalik). Padahal kepercayaan, rendahnya tekanan-tekanan merupakan prasyarat mutlak keberhasilan proses pendidikan.

3. Pendidikan seharusnya murah di mata sumber ilmu, mahal dimata pencari ilmu.
Kita berhutang banyak pada para ilmuwan, apa yang kita kuasai tidak pernah murni dari pemikiran, penelitian mandiri. peradaban dibangun dari proses regenerasi pengetahuan. Hal yang tebaik untuk membayarnya adalah dengan menyebarkan pada semua orang yang mau belajar tanpa terkecuali, tanpa dihalangi keterbatasan usia, kemampuan finansial dll.
Disisi lain pengetahuan adalah aset strategis setiap individu, Kita sadari kekayaan merupakan aset yang menjadi beban pemiliknya. Penampilan fisik juga penting, tapi tidak akan bertahan lama. Pengetahuan merupakan aset pribadi yang harus diupayakan meski tentu perlu pengorbanan, baik waktu, uang, dsb.
Pada masa keemasan Islam, para Imam belajar dengan mengunjungi tempat-tempat yang jauh belajar dari puluhan bahkan ratusan guru selama puluhan tahun dan mengorbankan banyak hal seperti hidup sangat sederhana bahkan kesehatan.

4. Institusi pendidikan seharusnya berusaha menjadi pusat transformasi sekaligus pemeliharaan nilai, sikap, pengetahuan dll.
Saat ini berkembang polemik masih dibutuhkan atau tidaknya pendidikan ter-institusi. IMHO, sekolah tetep harus ada. Meski sumber-sumber informasi, alternatif pengganti sekolah semakin luas. Sekolah tetap punya peran penting dalam menjaga tatanan sosial, budaya, moral dan agama yang baik.
Oleh karena itu sekolah harus memiliki standar nilai yang lebih tinggi dari lingkungan disekitarnya. Harus ada filter yang memastikan sekolah senantiasa steril dari penyakit-penyakit sosial yang mungkin berjangkit diluar. Dalam situasi inilah anak didik belajar membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, sehingga lahir generasi yang memiliki standar moral etik, logik, estitik tinggi dan siap mengambil peran dalam dunia real.

Sumber:
http://adhiwirawan.wordpress.com/2008/12/10/bagaimana-seharusnya-pendidikan-itu/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar