Rabu, 27 Mei 2009

Guru Dan Kecerdasan Ganda

Artikel
Saturday, 30th April, 2005
Oleh : Suparlan

I. PENDAHULUAN
Teaching well means helping students learn well.
(Bruce Joyce)

Menilai guru sebagai satu mata rantai pendidikan yang lemah memang harus dilakukan secara obyektif. Akan tetapi memusatkan perhatian hanya kepada guru sebagai sebuah dari sejumlah mata rantai adalah kesalahan yang lebih besar, karena jelas faktor guru tidak berdiri sendiri.
(Winarno Surakhmad)
Mengajar dengan baik bermakna membantu siswa agar siswa dapat belajar dengan baik. Mengajar dengan baik merupakan tugas utama seorang guru. Jika guru mengajar dengan baik, maka siswa diharapkan akan dapat belajar dengan baik pula. Dan jika siswa dapat belajar dengan baik, maka hasil belajarnya diharapkan juga akan baik.
Kenyataan menunjukkan bahwa hasil belajar siswa masih rendah. Apalagi hasil belajar siswa dalam mata pelajaran matematika. Hasil temuan TIMSS Tahun 2003 (Trends in International Mathematics and Science Study, yang sebelumnya diberi nama Third International Mathematics and Science Study), menunjukkan bahwa kemampuan matematika siswa SMP di Indonesia menduduki peringkat ke-34 dari 48 negara yang diteliti. Dalam rangka mencari sebab dari masalah tersebut, Dr. Dodi Nandika, Kepala Balitbang Diknas menyatakan bahwa rendahnya hasil belajar siswa di Indonesia tersebut terutama disebabkan oleh rendahnya "kualitas guru dan masih minimnya ketersediaan sumber-sumber belajar bagi siswa" (Republika, 24 Desember 2004). Sejalan dengan ini, Ki Supriyoko, dari Majelis Luhur Taman Siswa Yogyakarta, menyatakan bahwa "Selain menyangkut infrastruktur pendidikan, determinan kedua yang membuat lambannya perkembangan pendidikan kita adalah kualitas menusia, khususnya guru" (Kompas, 5 Mei 2004). Terkait dengan masalah guru tersebut, Winarno Surakhmad, mantan Rektor IKIP Jakarta, menyatakan bahwa 'guru memang mudah dijadikan kambing hitam" (Kompas, 24 April 2004). Menurutnya, guru hanya menjadi salah satu mata rantai kelambanan pendidikan di Indonesia.
Makalah ini menelaah liku-liku mata rantai proses pendidikan, utamanya yang terkait dengan guru. Mengingat sedemikian sentralnya status, peran, dan fungsi guru dalam peningkatan mutu pendidikan, makalah ini akan memfokuskan variabel-variabel yang ikut mempengaruhi kinerja guru dalam proses belajar mengajar di dalam kelas dan atau di sekolah. Dalam konteks ini, jika proses belajar mengajar itu tersebut dapat diibaratkan dengan proses pesawat terbang yang sedang melaksanakan perjalanan di udara, maka ruang kelas dapat diibaratkan dengan kotak hitam (black box) yang ada dalam pesawat tersebut.
Ada dua pokok bahasan yang akan dijelaskan dalam makalah ini. Pertama adalah guru dan faktor-faktor intern guru dan ekstern yang besar pengeruhnya terhadap kinerjanya profesionalnya, termasuk karakteristiknya, serta standar kompetensinya. Kedua adalah kecerdasan ganda yang seharusnya menjadi konsep penting yang harus menjadi acuan dalam pelaksanaan peran dan fungsi guru dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.

II. GURU
Ada beberapa aspek yang terkait dengan guru yang akan dibahas dalam makalah ini, (1) meletakkan dengan sungguh-sungguh status guru sebagai profesi, (2) memperbaiki semua komponen pendidikan dalam sistem pendidikan nasional, (3) menghasilkan guru yang berkualitas sesuai dengan standar kompetensi yang diperlukan dan terus memperbaharui dan meningkatkan kompetensi guru secara berkesinambungan, dan (4) membangun kultur sekolah yang bermutu.

1. Meletakkan dengan sungguh-sungguh status guru sebagai profesi
Bertepatan dengan peringkatan Hari Guru Nasional tanggal 2 Desember 2004 yang lalu, Presiden Republik Indonesia, Bapak Bambang Susilo Yudoyono (SBY), dengan didampingi oleh Menteri Pendidikan Nasional, Bapak Bambang Sudibyo (BS), telah mencangkan gurus sebagai profesi. Pertanyaannya, apakah dengan acara seremonial pencanganan ini guru kemudian secara otomatis akan memiliki status sebagai profesi? Belum. Upacara itu masih untuk menunjukkan adanya kemauan yang baik (goodwill) dan pengakuan. Sama sekali belum sebagai konsekuensinya. Raka Joni (Kompas, 6 Desember 2004), mantan guru besar IKIP Malang, menegaskan bahwa profesionalisme guru dewasa ini masih berupa janji, dan masih banyak tuntutan yang harus dipenuhi. Bagi Raka Joni, suatu profesi memiliki tiga pilar yang harus dipenuhi.
Pertama, kompetensi yang tinggi yang harus dimiliki melalui pendidikan yang kuat, baik dasar akademik, pengetahuan, maupun keterampilan profesionalnya. Pendidikan akademik di lembaga pendidikan prajabatan ini harus diikuti dengan adanya program pengalaman lapangan (PPL) dan pemagangan yang intensif untuk membentuk kompetensi profesionalnya.
Kedua, layanan profesional dengan mengedepankan kemaslahatan klien atau subyek didiknya. Guru yang profesional harus selalu menampilkan sosok safe practisioner atau praktisi yang aman bagi peserta didik. Kalau malpraktik dalam dunia kedokteran dalam berakibat fatal bagi nyawa sang pasiennya, maka dalam dunia pendidikan malpraktik pendidikan dapat menimbulkan bahaya bagi masa depan kehidupan anak-anak, seperti lulusan yang tidak memiliki kompetensi sehingga hanya menciptakan pengangguran.
Ketiga, adanya kompensasi dari pelaksanaan layanan profesional berupa gaji dan atau insentif yang memadai bagi guru.
Berkenaan dengan gaji guru ini, Suyono, seorang kandidat doktor pendidikan di Universitas Negeri Malang (Kompas, 10 Januari 2005) menegaskan pendapatnya bahwa kenaikan gaji guru harus menjadi titik masuk (entry point) kebijakan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Menurutnya, untuk mengatasi masalah rendahnya mutu pendidikan, gaji guru harus dinaikkan terlebih dahulu. Baru kemudian diadakan uji kompetensi setiap tahun. Guru yang tidak memiliki kompetensi kemudian dialihtugaskan menjadi PNS nonguru, yang posisinya kemudian diganti dengan lulusan terbaik dari LPTK denagan seleksi yang ketat dan terbuka, demikian seterusnya. Jika langkah-langkah tersebut dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen, insyaallah selama lima tahun mendatang, Suyono yakin bahwa kita akan memperoleh guru yang bermutu, dan kemudian akan diperoleh mutu pendidikan yang diharapkan.

2. Memperbaiki proses pendidikan seimbang dengan koponen instrumental dalam sistem pendidikan nasional.
Komponen instrumental pernah dipandang sebagai faktor utama dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Berdasarkan pada pandangan ini, maka jika gedung dibangun, laboratorium sekolah dibangun, buku pelajaran dicetak, kurikulum diganti dan terus disempurnakan, dan tidak lupa pula gurunya ditatar, makan diharapkan mutu pendidikan akan naik. Namun apa yang terjadi? Mutu pendidikan tidak pernah beranjak dari tempatnya? Mengapa? Permasalahannya belum menyentuh faktor penyebab utamanya. Ibarat pesawat terbang, kotak hitamnya (black box) belum ditemukan. Itulah sebabnya, muncul pendapat lain yang menyatakan bahwa faktor kuncinya adalah proses belajar mengajar, bukan masukan instrumental. Dengan demikian, apa yang terjadi di ruang kelas dalam proses belajar mengajar menjadi faktor utamanya. Dengan kata lain proses harus diperhatikan seimbang dengan masukan instrumental pendidikan.

3. Menghasilkan guru yang berkualitas sesuai dengan standar kompetensi yang diperlukan.
Untuk menghasilkan guru yang memiliki kompetensi, maka diperlukan LPTK yang kompeten untuk menghasilkan lulusan yang kompeten. Untuk ini, kembali LPTK memerlukan masukan kasar yang baik. Calon mahasiswa yang baik hanya akan masuk ke LPTK jika lulusan dari LPTK akan memperoleh imbalan profesi yang sebanding dengan profesi lain. Untuk dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas, LPTK hsrus memiliki program-program yang berkualitas, baik dalam teori maupun praktik, dengan program magang maupun program praktik kerja lapangan yang memadai. Untuk ini, IKIP yang kini telah berubah menjadi universitas, memikul tugas yang berat dan mulia untuk dapat menghasilkan guru yang berkualitas.

4. Meningkatkan kompetensi guru secara berkesinambungan melalui program pendidikan dan pelatihan yang bermutu.
Jika LPTK telah menghasilkan lulusan yang kompeten, diawali dengan raw input dengan kualitas nomor satu, maka beban lembaga diklat dapat dipastikan tidak seberat sekarang. Peran lembaga diklat sebenarnya sebagai upaya untuk menyegarkan kompetensi guru. Ibarat bengkel, maka lembaga diklat hanya memperbaiki jika ada kerusakan kecil dan tidak bersifat fatal. Peran lembaga diklat tidak dapat dianggap ringan, karena ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang. Kebijakan pendidikan terus berubah. Dan semua itu memerlukan upaya penyegaran secara berkelanjutan, agar kompetensi guru dapat ditingkatkan dan dipertahankan mutunya. Diklat untuk guru dapat berupa diklat berjenjang, diklat penyegaran, dan bahkan juga diklat peningkatan kualifikasi. Di berbagai negara, para guru diberi kesempatan untuk dapat mengikuti kuliah di perguruan tinggi dalam hari-hari libur mereka.


5. Membangun kultur sekolah yang bermutu.
Budaya akademis harus diciptakan di sekolah, seperti budaya kompetisi antar guru, seperti lomba karya tulis, lomba pembelajaran, lomba pembuatan alat peraga. Di samping itu, untuk siswa juga perlu diciptakan berbagai kesempatan untuk mengikuti lomba, seperti IMO. Acara seminar yang diselenggarakan oleh MGMP seperti ini dapat dinilai mencari upaya untuk membangun kultur sekolah yang bermutu.

III. KECERDASAN GANDA
Tipe kecerdasan tidak hanya satu,
setiap orang memiliki gaya belajar yang unik, sama halnya dengan sidik jari.
Sekolah yang efektif harus dapat mengenali dan melayaninya
(Dryden Gordon dan Dr. Jeannette Voh, Revolusi Cara Belajar, hal. 23- 29)
Dalam tulisan ini akan dijelaskan tentang kecerdasan ganda dan kaitannya dengan proses pendidikan di sekolah.

1. Pengertian
Konsepsi kecerdasan intelektual tidak dapat dipisahkan dengan konsepsi tentang hakikat manusia (human nature) dan yang terkait dengan adanya keunikan manusia secara individual yang berbeda antara satu dengan yang lain (individual differences), meski dalam kondisi kembar sekali pun. Konsep perbedaan individual ini berasal dari Lewis William Stern (1871?1938). Teori perbedaan individual ini telah melahirkan intelligence quotient (IQ), yang kemudian secara matematis dioperasionalisasikan oleh Terman, ahli psikologi dari Stanford University. Beliau menyusun rumus IQ sebagai perbandingan antara kemampuan berdasarkan umur mental (mental age) dengan umur kronologinya (chronological age). Nilai hasil perbandingan tersebut disebut sebagai biji kecerdasan relatif (relative intelligence score). Jika nilai IQ yang diperoleh melebihi 100 maka anak dinilai memiliki nilai di atas rata-rata. Jika nilai yang diperoleh di bawah 100 maka anak tersebut masuk dalam kategori di bawahnya. Tes IQ dilaksanakan dengan menggunakan tes psikologi yang disusun oleh ahli psikologi. Kemampuan manusia tidak hanya berupa kecerdasan intelektual saja, tidak hanya satu kemampuan, melainkan banyak.


2. Tujuh Tipe Kecerdasan Ganda Menurut Howard Gardner
Howard Gardner, seorang dosen psikologi di Harvard School of Education menulis buku bertajuk Multiple Intelligence, yang menyebutkan 7 (tujuh) tipe kecerdasan (the seven types of intelligence) yang dimiliki manusia. Ketujuh kecerdasan tersebut dapat dijelaskan dalam tabel berikut.

Tabel 1
The Seven Types of Intelligence
Linguistic enjoy writing, reading, story telling or doing crossword puzzles menyenangi menulis, membaca, menceritakan kisah atau mengerjakan teka-tekni silang
logical-mathematical patterns, categories and relationship pola atau bentuk, kategori dan hubungan
bodily-kinesthetic athletic, dancers or good at crafts such as sewing or woodworking atletik, penari atau senang dalam kerajinan seperti menjahit atau pekerjaan kayu
Spatial think in images and pictures, fascinate with mazes or jigsaw puzzles, spend free time drawing berfikir dalam bayangan dan gambar, senang dengan teka-teki, menggunakan waktu luang untuk menggambar
Musical singing and drumming menyanyi dan main drum
Interpersonal good at ommunicating and understand other's feeling baik dalam berkomunikasi dan memahami perasaan orang lain
Intrapersonal very aware of their own feelings sangat menyadari terhadap perasaannya sendiri
Sumber: http://www.swopNet.com

Tujuh tipe kecerdasan menurut Howard Gardner tersebut dijabarkan lebih lanjut dengan kemungkinan karir yang cocok untuk masing-masing tipe kecerdasan, yang dapat dijelaskan dalam tabel berikut.

Tabel 2
Tipe Kecerdasan Ganda, Kecakapan, dan Kemungkinan Karirnya

Tipe Kecerdasan Kemampuan Karir
Visual/
Spatial: ability to perceive the visual ? puzzle building
? reading
? writing
? understanding chart and graph
? a good sense of direction
? sketching
? painting
? creating visual metaphors
? analogies
? manipulating images
? constructing
? fixing
? designing practical objects
? interpreting visual images ? navigators
? sculptors
? visual artists
? inventors
? architects
? interior designers
? mechanics
? engineers

Verbal/Linguistic: ability to use words and language ? listening
? speaking
? writing
? story telling
? explaining
? teaching
? using humor
? understanding the syntax and meaning words
? remembering information
? convincing someone of their point of view
? analyzing language usage ? poet
? journalist
? writer
? teacher
? lawyer
? politician
? translator

Logical/
Mathematic:
ability to use reason, logic, and numbers ? problem solving
? classifying and categorizing information
? working with abstract concept
? handling long chains of reason to make local progression
? doing control experiments
? questioning and wondering about natural events
? performing complex mathematical calculators
? working with geometric shapes ? scientist
? engineers
? computer programmer
? researchers
? accountant
? mathematicians

Bodily/Kinesthetic:
Ability to control body movements and handle objects skillfully ? dancing
? physical coordination
? sports
? hands on experimentation
? using body language
? crafts
? acting
? miming
? using their hands to create or built
? expressing emotions through the body ? athletes
? physics education teachers
? dancers
? actors
? firefighters
? artisans

Musical/
Rhythmic:
Ability to produce and appreciate music ? singing
? whistling
? playing musical instruments
? recognizing tonal patterns
? composing music
? remembering melodies
? understanding the structure and rhythm of music ? musicians
? disc jockey
? singer
? composer

Interpersonal: ability to relate and understand others ? seeing things form others perspectives
? listening
? using empathy
? understanding other people's mood
? motivations ad intentions
? communicating both verbally and non-verbally
? building trust
? peaceful conflict resolution
? establishing positive relations with other people ? counselor
? salesperson
? politician
? business person

Intrapersona: ability to self-reflect and be aware of one's inner state of being ? recognizing their own strengths and weakness
? reflecting and analyzing themselves
? awareness of their inner feeling
? desires and dreams
? evaluating their thinking patterns
? reasoning with themselves
? understanding their role in relationship to others ? researchers
? theorists
? philosopher
Sumber: http://www.ldpride.net


Bobbi dePorter dkk. (1999:96-98) dalam bukunya bertajuk Quantum Teaching telah memformulasikan tujuh tipe kecerdasan menurut Gardner tersebut menjadi delapan tipe dengan menambahkan satu kecerdasan, yang disusun dalam bentuk jembatan keledai SLIM n BILL sebagaimana digambarkan dalam tabel sebagai berikut.

Tabel 3
Delapan Tipe Kecerdasan
Tipe Kecerdasan Kecenderungan Sifat
S Spasial-Visual Menggambar, membuat sketsa, mencoret-coret, visualisasi, grafik, desain, tabel, seni, video, film
L Linguistik-Verbal Berbicara, menulis, bercerita, mendengarkan, buku, kaset, dialog, diskusi, puisi, lirik, mengeja, bahasa asing, surat, e-mail, pidato, makalah, esai
I Interpersonal Memimpin, mengorganisasi, berinteraksi, berbagi, menyayangi, berbicara, sosialisasi, menjadi pendamai, permainan kelompok, klub
M Musikal-ritmik Menyanyi, bersenandung, mengetuk-ngetuk, irama, melodi, kecepatan, warna nada, alat musik
N Naturalis Jalan-jalan di alam terbuka, berinterksi dengan binatang, menatap binatang, meramal cuaca, simulasi penemuan,
B Badan-Kinestetik Menari, olah raga, menyentuh, drama, indra peraba
I Intrapersonal Berfikir, meditasi, merenung, membuat jurnal, introspeksi
L Logis-Matematis Bereksperimen, bertanya, menghitung, logika, fakta, teka-teki, skenario

Sumber: Ditabulasi dari Quantum Teaching, hal. 97-98.

2. Kecerdasan emosional

Daniel Golemen telah mengambil kesimpulan bahwa faktor IQ (intelelligence quotient) hanya berpengaruh sebesar 20% saja sebagai faktor determinan keberhasilan seseorang, sementara itu yang 80% dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya, termasuk antara lain kecerdsan emosionalnya (emotional intelligence).
Daniel Goleman menyebutkan bahwa kecerdasan emosonal itu mencakup: (1) mengendalikan diri, (2) semangat, (3) ketekunan, dan (4) kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Kemudian timbul satu pertanyaan, apakah kemampuan-kemampuan itu dapat diajarkan? Goleman berpendapat bahwa kemampuan-kemampuan tersebut dapat diajarkan kepada anak-didik, tentu tidak dalam bentuk mata pelajaran, melainkan hidup dalam semua mata pelajaran, dan dilaksanakan dalam suasana pembelajaran yang menyenangkan, sebagaimana konsep yang diajukan oleh Gordon Dryden dan Jeannette Vos dalam bukunya "Learning Revolution".
Dalam hal pengendalian diri, setiap manusia perlu memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri, mengendalikan "ego" atau kemapuan yang ada pada diri seseorang. Untuk mencapai sesuatu tujuan atau cita-cita, atau menghadapi masalah yang amat pelik di hadapan kita, sebagai misal, kita harus dan perlu mengukurnya dengan kadar kemampuannya sendiri. Ibarat mengukur baju, ukurannya adalah dirinya sendiri, bukan badan orang lain. Ibarat kuda yang akan dipacu untuk mengarah kepada tujuan tertentu, kita memerlukan tali kendali untuk mengarahkan jalan kuda itu agar tetap sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Untuk dapat mengendalikan dirinya, anak-anak perlu diperkenalkan dengan kaidan "jika maka" atau pola sebab akibat. Artinya, semua pekerjaan yang kita lakukan atau untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi, seseorang perlu memiliki kemampuan untuk menerima hasil dan segala konsekuensinya. Inilah makna konsep kedewasaan, yang berarti mampu bertanggung jawab selaras dengan apa yang kita lakukan.
Berkenaan dengan semangat, guru harus dapat menanamkan kesadaran tentang pentingnya usaha yang pantang menyerah dalam mencapai sesuatu. Jangan sekali-kali memiliki jiwa menyerah sebelum berperang. Agar anak-anak memiliki sikap yang pantang menyerah, maka perlu diberi motivasi secara terus menerus dengan teori "triple C kecerdasan motivasi. Pertama, challenge, yakni harus dapat menggunakan tantangan menjadi peluang. Kedua, competition, yakni kita harus memiliki etos kerja untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Ketiga, change, artinya seseorang harus berani mengubah sesuatu cara atau sistem yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Statusquo merupakan faktor yang amat menghambat timbulnya semangat.
Ketekunan, dalam hal ini dapat diartikan sebagai satu sikap yang selalu konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan sesuatu. Sikap ini melahirkan sikap pantang menyerah, ulet dan terus menerus bekerja dangan semangat "pantang tolak tugas dan pantang kerja tak selesai" (Motto Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI). Sama dengan sumbernya, yakni motivasi, ketekunan yang baik merupakan buah yang lahir dari motivasi secara intern, bukan karena paksaan dari pihak luar.
Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri lahir dari kesadaran yang tumbuh terutama dari diri sendiri, bukan karena paksaan dari pihak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar